Ekonom Indef Sebut Kebijakan Rokok Polos Ancam Ekonomi Indonesia Rp308 Triliun

Ilustrasi berhenti merokok.
Sumber :
  • Dok. Istimewa

Jakarta, VIVA – Para ekonom dan pakar hukum menyampaikan kritik serius terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) dan rencana kebijakan yang mengatur penyeragaman kemasan rokok polos tanpa merek pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes). Kebijakan ini dinilai membawa dampak besar bagi perekonomian nasional dan menimbulkan kekhawatiran terkait potensi intervensi asing dalam penyusunan regulasi.

PPN 12% Membebani? Ini Alasan Mengapa Frugal Living Bisa Guncang Ekonomi RI

Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho mengatakan, dampak ekonomi dari kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek diperkirakan mencapai Rp308 triliun. 

“Kajian Indef menunjukkan bahwa kebijakan ini dapat mengurangi pertumbuhan ekonomi nasional secara signifikan, menimbulkan kerugian besar bagi sektor industri hasil tembakau, yang selama ini berkontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia,” ujar Andry dalam siaran pers, dikutip Kamis, 7 November 2024.

Gibran Minta Menpar Gelar Event hingga Convention di Lokasi Pasca-Bencana Guna Pulihkan Ekonomi Setempat

Ilustrasi rokok ilegal

Photo :
  • Bea Cukai

Selain itu, Andry menjelaskan bahwa aturan ini juga bisa meningkatkan peredaran rokok ilegal. Produk rokok tanpa merek memudahkan pelaku usaha ilegal untuk memasukkan produk mereka ke pasar, tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk desain kemasan yang rumit. Hal ini, menurut Andry, akan mempersulit pemerintah dalam pengawasan dan identifikasi produk, sehingga potensi peningkatan rokok ilegal di pasaran menjadi lebih tinggi.

Tolak PPN Naik Jadi 12 Persen, YLKI Beberkan Ketidakadilan dalam Pemungutan Pajak

Dari sisi penerimaan negara, Andry memperingatkan bahwa ada potensi kehilangan pendapatan negara sebesar Rp160,6 triliun atau sekitar 7% dari total penerimaan pajak, jika regulasi ini diterapkan. Hal ini berpotensi menggagalkan target penerimaan negara sebesar Rp218,7 triliun untuk tahun ini, yang semakin menantang bagi pemerintah.

Industri hasil tembakau selama ini merupakan salah satu penyumbang utama bagi perekonomian Indonesia. Sebelum pandemi, sektor ini menyumbang hingga 6,9% dari PDB, meskipun kontribusinya mulai menurun setiap tahun. Andry mengingatkan bahwa peran besar industri tembakau terhadap perekonomian tidak bisa diabaikan begitu saja, terutama di tengah upaya pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Selain kontribusi pada PDB, sektor tembakau juga menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Berdasarkan data Indef, sekitar 2,29 juta orang atau 1,6% dari total tenaga kerja di Indonesia bergantung pada industri ini. Andry menekankan bahwa kebijakan ini bisa mengancam pekerjaan mereka dan membuat mereka lebih rentan terhadap ketidakpastian ekonomi.

Andry juga menyerukan perlunya koordinasi lintas kementerian dalam merumuskan kebijakan terkait industri hasil tembakau. Ia menyatakan bahwa regulasi ini bukan hanya domain Kementerian Kesehatan atau Kementerian Keuangan, tetapi juga harus melibatkan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Ketenagakerjaan agar dampak kebijakan bisa dilihat secara holistik.

Ketentuan zonasi dalam PP 28/2024 yang melarang penjualan rokok di sekitar satuan pendidikan juga menjadi sorotan. Kebijakan zonasi tersebut, menurut Andry, dapat merugikan usaha ritel yang sudah beroperasi di area tersebut. Ia menegaskan pentingnya mempertimbangkan keseimbangan antara perlindungan kesehatan masyarakat dan kelangsungan usaha kecil.

Rak rokok di minimarket (foto ilustrasi)

Photo :
  • VIVAnews/Arrijal Rachman

Di sisi lain, Rancangan Permenkes yang mengatur kemasan rokok polos dianggap sebagai bentuk intervensi asing terhadap kedaulatan ekonomi Indonesia, terutama bagi sektor tembakau. Prof. Hikmahanto Juwana, pakar hukum internasional, menilai bahwa kebijakan ini mirip dengan yang diterapkan di Australia pada 2012, di mana Indonesia kala itu justru menolak kebijakan tersebut.

“Sekarang kita justru ingin menerapkan apa yang pernah kita lawan. Ini sangat membingungkan,” tuturnya.

Prof. Hikmahanto menekankan bahwa Indonesia sebagai negara penghasil tembakau seharusnya tidak tunduk pada regulasi yang disusun berdasarkan panduan dari negara lain atau organisasi internasional. Ia menyoroti pentingnya kebijakan yang berpihak pada kepentingan ekonomi domestik dan menolak adanya intervensi yang dapat mengancam stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya