Majelis Masyayikh Beberkan Lahirnya UU Pesantren Guna Membangun Ekosistem Pendidikan yang Holistik
- Istimewa
Kebumen, VIVA – Majelis Masyayikh kembali mengadakan sosialisasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, Selasa 5 November 2024. Kali ini sosialisasi digelar di pondok pesantren (ponpes) Al-Kahfi Somalangu Kebumen.
Acara ini menghadirkan dua narasumber yang berpengalaman, yaitu Prof. Dr. Hj. Amrah Kasim dan KH. Abdul Ghaffar Rozin, M.Ed.
Kegiatan ini mendapatkan sambutan baik dari KH. Afifudin Al-Hasani sebagai pengasuh Ponpes yang mengungkapkan bahwa adanya sosialisasi ini dapat memberikan pemahaman soal terjaganya mutu pesantren di Indonesia.
“Sebab, dulu pesantren di Kebumen ada sekitar 175, tetapi sekarang hanya ada sekitar 70-80 pesantren. Hal ini tentunya perlu mendapatkan perhatian lebih,” ucap Kiai Afifudin.
Gus Rozin menjelaskan bahwa Majelis Masyayikh dengan independensi dan kemandiriannya sangat mengupayakan perkembangan pendidikan di pesantren salah satunya melalui UU Pesantren.
“Majelis Masyayikh bukan organ pemerintah, Majelis Masyayikh menjembatani antara Pemerintah dan Pesantren yang mungkin memiliki jalan pikiran dan bahasa yang berbeda. Maka titik temunya adalah pesantren mau diukur oleh orang pesantren sendiri (yang paham pesantren) bukan lainnya," kata Gus Rozin.
Lahirnya UU Pesantren ini bertujuan membangun ekosistem pendidikan yang holistik di pesantren, mulai dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi.
“Kami ingin memastikan bahwa administrasi pesantren diperhatikan untuk kepentingan santri secara menyeluruh,” katanya menekankan bahwa perhatian ini tidak hanya untuk kiai dan pesantren, tetapi yang terpenting adalah bagi santri itu sendiri.
Ia juga menekankan pentingnya standar pendidikan yang minimal bagi seluruh pesantren. "Meskipun terdapat keragaman dalam pembelajaran, kita harus menetapkan standar minimal seperti contoh untuk Nahwu Shorof dan Fiqih," tegasnya.
Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan di pesantren yang terintegrasi dengan pendidikan umum.
Majelis Masyayikh juga menginisiasi pengembangan standar pengasuhan, yang merupakan aspek unik dan tidak dimiliki sistem pendidikan formal lainnya. Standar ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang santri secara holistik, menjawab berbagai isu yang merugikan kepercayaan masyarakat terhadap pesantren.
Hal ini ditekankan untuk menepis isu-isu yang datang belakangan ini dan sedikit banyak berpengaruh terhadap turunnya kepercayaan masyarakat, yaitu isu kekerasan, baik verbal, fisik, dan lebih lagi kekerasan seksual.
“Bahwa bagaimana tatakelola di dalam pesantren itu dapat menciptakan pengalaman dan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang santri secara holistik. Jadi kita tidak perlu denial terhadap isu kekerasan di dalam pesantren, justru harus disikapi.” pungkasnya.
Nyai Amrah membuka sesi dengan mengungkapkan bahwa UU No. 18 Tahun 2019 lahir sebagai respons terhadap berbagai opini di masyarakat terkait posisi dan peran pesantren. Menurutnya, pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga merupakan pusat transmisi ilmu keislaman serta basis kebudayaan dan peradaban Indonesia yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah perjuangan bangsa.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa pesantren memiliki peran signifikan dalam melawan kolonialisme. "Pesantren telah menyuntikkan semangat juang kepada para mujahidin pada masa itu melalui argumen Al-Qur’an dan Hadis,” tuturnya.
Dengan adanya undang-undang ini, diharapkan pesantren bisa lebih terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional.
Dalam kesempatan tersebut, Nyai Amrah menyampaikan bahwa keberadaan pesantren diharapkan mendapatkan perhatian dan kontribusi dari negara. Melalui pengakuan dalam UU ini, Majelis Masyayikh berupaya mendukung kualitas pendidikan di pesantren agar bisa berkembang dan beradaptasi dengan dinamika masyarakat saat ini.
“UU ini hadir bukan untuk menyeragamkan, tetapi justru untuk menjaga kekhasan pesantren dengan upaya-upaya oleh Majelis Masyayikh selama 3 tahun terakhir ini untuk terus mengembangkan pesantren, dengan merumuskan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk menjadi perangkat penjaminam mutu pendidikan di pesantren,” ucap Nyai Amrah.
Sebagai penutup, isu pengakuan ijazah lulusan pesantren juga menjadi sorotan. Lulusan pesantren diharapkan bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan memiliki peluang yang sama dalam mendapatkan pekerjaan, baik di pemerintahan maupun instansi lainnya.
“Kami ingin alumni pesantren mampu memberikan kontribusi positif bagi masyarakat,” ujarnya.
Dengan adanya sosialisasi ini, Majelis Masyayikh berharap dapat mengedukasi masyarakat dan meningkatkan citra positif pesantren, sekaligus memperkuat peran dan eksistensinya dalam masyarakat Indonesia. Majelis Masyayikh melalui Sosialisasi UU No. 18 Tahun 2019 diharapkan menjadi langkah awal untuk meneguhkan kedudukan pesantren dalam sistem pendidikan nasional.