Mengapa Korupsi Sulit Hilang di Indonesia?

Ilustrasi Korupsi
Sumber :
  • Pexels.com

VIVA – Korupsi menjadi masalah laten yang terus membelit Indonesia. Kasus demi kasus selalu mencuat, mulai dari skandal pejabat hingga korupsi struktural yang merugikan masyarakat. Upaya pemberantasan sudah dilakukan, tetapi praktik korupsi terus berulang, menciptakan tantangan besar bagi stabilitas dan pembangunan negara.

KPK Usut Jual Beli Aset Milik Anggota DPR Anwar Sadad di Kasus Dana Hibah Jatim

Kondisi ini diperparah oleh lemahnya penegakan hukum dan rendahnya etika di kalangan aparat penegak hukum. Seperti disampaikan oleh Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Anthon F. Susanto, moralitas dan etik yang lemah di kalangan penegak hukum menjadi penghalang besar. Di sisi lain, sistem hukum yang diterapkan dianggap terlalu dipengaruhi oleh nalar Barat, yang membuatnya kurang cocok dengan konteks Indonesia. Semua ini mengakibatkan korupsi sulit diberantas dan terus mengakar di tengah masyarakat.

Untuk itu, dibutuhkan langkah konkret yang menggabungkan pendekatan hukum yang berbasis etika, moralitas, dan kearifan lokal. Memperkuat fondasi spiritual, moral, dan budaya dalam sistem hukum diharapkan bisa menjadi jalan keluar agar korupsi dapat diberantas hingga ke akarnya.

Sidang Korupsi Timah, Ahli Ungkap BPKP Tak Bisa Tentukan Nilai Kerugian Negara

1. Budaya Korupsi yang Mengakar Kuat

Budaya korupsi di Indonesia sudah sangat mengakar, terutama dalam sektor pemerintahan dan birokrasi. Di berbagai lapisan masyarakat, praktik ini sering dianggap sebagai “hal biasa” atau “pelicin” untuk mempermudah urusan. Sikap permisif ini menjadi hambatan besar dalam pemberantasan korupsi. Tanpa adanya perubahan sikap dan nilai di masyarakat, upaya pemberantasan korupsi akan sulit mencapai hasil optimal.

Belum Ada Hasil Audit, Ahli Hukum: Penetapan Tersangka Tom Lembong Prematur

Menurut Anthon F. Susanto, pemberantasan korupsi tidak bisa sekadar mengandalkan sistem hukum yang berorientasi Barat. Sistem ini sering kali gagal menyentuh aspek budaya dan moralitas yang mempengaruhi perilaku individu. Dalam konteks Indonesia, upaya pemberantasan harus lebih banyak menekankan nilai lokal yang menjunjung tinggi integritas.

2. Lemahnya Etik dan Moral di Kalangan Penegak Hukum

Salah satu penyebab utama sulitnya memberantas korupsi adalah lemahnya etika dan moralitas di kalangan penegak hukum. Ketika aparat hukum sendiri masih mudah tergoda oleh uang atau pengaruh politik, proses penegakan hukum jadi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Integritas yang rendah pada penegak hukum menimbulkan skeptisisme masyarakat terhadap sistem hukum.

Anthon menekankan bahwa fondasi moral yang kuat di kalangan aparat hukum menjadi faktor kunci agar proses penegakan hukum bisa berjalan efektif. Bila aparat hukum memiliki integritas yang kuat dan tidak mudah tergoda oleh kepentingan pribadi, maka korupsi dapat lebih mudah diberantas.

3. Pengaruh Sistem Hukum Berbasis Nalar Barat

Sistem hukum Indonesia yang didasarkan pada pemikiran Barat sering kali tidak sesuai dengan realitas sosial dan budaya lokal. Menurut Anthon, sistem ini belum sepenuhnya bisa mengakomodasi nilai-nilai keagamaan, etika, dan moralitas yang seharusnya menjadi dasar dalam pemberantasan korupsi. Akibatnya, sistem ini cenderung sulit diterima oleh masyarakat luas dan kurang efektif dalam memerangi korupsi.

Sistem hukum di Indonesia perlu disesuaikan dengan kosmologi religius dan budaya lokal agar bisa lebih efektif. Pendekatan yang menggabungkan nilai spiritual, moral, dan intelektual dinilai mampu menciptakan sistem hukum yang lebih relevan bagi masyarakat Indonesia.

4. Kurangnya Kearifan Lokal dalam Penegakan Hukum

Penguatan hukum di Indonesia tidak hanya membutuhkan aturan yang ketat, tetapi juga kearifan lokal yang mampu menyentuh hati nurani masyarakat. Seperti yang disampaikan Anthon, penegakan hukum perlu melibatkan konsep “nyantri, nyunda, nyakola,” yang mencerminkan kecerdasan spiritual, emosional, dan intelektual.

Dengan pendekatan berbasis kearifan lokal ini, masyarakat diharapkan lebih menghargai hukum dan memiliki kesadaran untuk menjauhi praktik korupsi. Upaya ini dapat menjadi langkah preventif yang kuat dalam memberantas korupsi sejak dari akar budayanya.

5. Sistem Politik yang Rentan Manipulasi

Di Indonesia, politik sering kali digunakan sebagai sarana untuk memperkaya diri. Sering kali, politisi yang seharusnya mengabdi kepada rakyat justru memanfaatkan kekuasaan mereka untuk keuntungan pribadi. Ini menciptakan siklus korupsi yang berkelanjutan, karena praktik ini menjadi “standar tak tertulis” di banyak lingkungan pemerintahan.

Dalam konteks ini, pemisahan yang jelas antara kepentingan pribadi dan kepentingan publik sangat dibutuhkan. Tanpa adanya pemisahan ini, para politisi akan terus memanfaatkan posisinya untuk kepentingan pribadi, yang pada akhirnya merugikan masyarakat.

6. Penegakan Hukum yang Tidak Konsisten

Inkonsistensi dalam penegakan hukum membuat pemberantasan korupsi sulit dilakukan. Terkadang, kasus korupsi yang besar bisa ditangani dengan serius, namun kasus kecil sering kali diabaikan atau diselesaikan dengan hukuman yang ringan. Ini menciptakan kesan bahwa hukum bisa dibeli dan keadilan hanya berlaku bagi mereka yang mampu membayar.

Penegakan hukum yang konsisten dan adil tanpa pandang bulu menjadi salah satu cara untuk menciptakan rasa percaya masyarakat terhadap sistem hukum. Ketika masyarakat melihat bahwa hukum ditegakkan dengan tegas, mereka akan memiliki keyakinan lebih besar terhadap keadilan.

7. Tantangan Globalisasi dan Penyebaran Hoaks

Di era globalisasi dan kemajuan teknologi informasi, hoaks atau berita palsu juga menjadi tantangan serius dalam pemberantasan korupsi. Informasi yang tidak benar sering kali mengaburkan fakta dan menimbulkan kebingungan di masyarakat. Hal ini diperparah dengan adanya media sosial, di mana informasi palsu dapat tersebar luas dalam waktu singkat.

Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi harus didukung oleh edukasi digital kepada masyarakat agar mereka dapat memilah informasi yang benar dan tidak mudah terprovokasi oleh berita palsu. Kesadaran ini penting untuk menghindari kesalahan persepsi yang dapat merugikan upaya pemberantasan korupsi.

8. Kurangnya Kesadaran Masyarakat untuk Melaporkan Korupsi

Selain faktor-faktor di atas, rendahnya kesadaran masyarakat untuk melaporkan korupsi juga menjadi penghalang dalam pemberantasan korupsi. Banyak masyarakat yang merasa takut atau enggan untuk melapor, karena khawatir akan konsekuensi yang mungkin mereka hadapi.

Untuk mengatasi hal ini, pemerintah dan lembaga anti-korupsi perlu menyediakan mekanisme pelaporan yang aman dan anonim, serta memastikan bahwa pelapor dilindungi oleh hukum. Kesadaran masyarakat dalam melaporkan korupsi merupakan salah satu langkah penting untuk menciptakan lingkungan yang lebih transparan dan bebas korupsi.


Korupsi di Indonesia memang sulit dihilangkan, terutama karena berbagai faktor budaya, etika, sistem hukum, dan tantangan di era globalisasi. Meski tantangannya berat, ada beberapa solusi yang bisa ditempuh, seperti memperkuat moralitas dan etika penegak hukum, menerapkan sistem hukum yang berbasis kearifan lokal, serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melaporkan korupsi.

Dengan langkah-langkah ini, pemberantasan korupsi di Indonesia bisa terus diupayakan hingga tercipta masyarakat yang lebih bersih dan adil. Dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah, aparat hukum, dan masyarakat untuk mewujudkan masa depan Indonesia yang bebas korupsi.

Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika di KPK

KPK Sebut Kasus Eks Gubernur Kalsel Sahbirin Noor Tak Sama dengan Harun Masiku

KPK menyatakan bahwa kasus dugaan korupsi berupa pemberian fee proyek di Kalimantan Selatan (Kalsel) sampai saat ini masih diusut.

img_title
VIVA.co.id
22 November 2024