Prabowo Bakal ke Luar Negeri Setengah Bulan, Pakar Intelijen Minta TNI-Polri Waspada
- Setkab
Jakarta, VIVA – Pakar Intelijen dan Keamanan dari Universitas Indonesia (UI), Stanislaus Riyanta, mengingatkan jajaran TNI-Polri untuk mewaspadai pihak-pihak yang akan ‘bermain’ selama Presiden Prabowo Subianto melakukan kunjungan ke luar negeri selama setengah bulan pada November ini.
Stanislaus mengatakan jangan ada pihak-pihak yang mencoba mengganggu posisi Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka selama Presiden Prabowo berada di luar negeri. Hal ini guna menjaga stabilitas politik dan keamanan di dalam negeri.
Menurutnya, marwah Gibran sebagai pemimpin harus tetap dihormati dan dijaga dari pihak-pihak yang mencoba mendelegitimasi atau merongrong kepemimpinan Gibran sebagai wapres yang menjalankan tugas-tugas presiden.
“Kalau pas Prabowo luar negeri kemudian sementara Gibran sebagai pelaksana tugas-tugas presiden itu kan sudah sesuai konstitusi aturannya memang seperti, dari dulu seperti itu. Terkait adanya gerakan-gerakan siapapun yang sudah terpilih yang dilantik secara konstitusi itu harus kita hormati dan kita jaga,” tegas Stanislaus, Senin, 4 November 2024.
Stanislaus menilai, pihak-pihak yang masih tidak menerima atau tidak suka terhadap Gibran sebagai pemimpin merupakan bentuk ketidakdewasaan dalam berpolitik dan bernegara.
Meskipun ia menyebut kritik maupun ketidakpuasan terhadap pemerintah dianggap wajar, namun hal tersebut bisa disampaikan melalui mekanisme yang ada dengan cara sopan dan bertanggung jawab.
“Misalnya ada kritik atau saran atau ketidakpuasan, kan ada mekanismenya. Walaupun kita harus menghargai kritik maupun pendapat, tetapi siapapun juga pemimpin Indonesia harus tetap dijaga dan dilindungi,” ucapnya.
Dikatakan Stanislaus, menyampaikan kritik ataupun gagasan sah-sah saja di negara demokrasi, namun jangan sampai melampaui batas dengan mengganggu ketertiban umum atau bahkan mengganggu keselamatan pemimpin negara.
“Saya yakin intelijen dan aparat keamanan sudah bekerja. Ada protokol tetap untuk menjaga pimpinan negara, dan pasti sudah termonitor serta terdeteksi potensi-potensi ancaman yang akan terjadi,” jelasnya.
Lebih lanjut, Stanislaus yakin aparat keamanan dan intelijen sudah bekerja memantau situasi keamanan negara, termasuk para pemimpinnya. Jika ada pihak-pihak yang berpotensi membuat kegaduhan, aparat keamanan pasti akan bertindak.
Stanislaus menilai Prabowo–Gibran telah memulai pemerintahannya dengan sangat baik, sehingga ia meminta aparat keamanan dan intelijen tetap waspada menjaga kondisi tersebut dari berbagai ancaman yang dapat mengganggu roda pemerintahan ke depan.
“Menurut saya, kalau sebatas menyampaikan pendapat atau gagasan, itu sah-sah saja di negara demokrasi. Jadi, kita hormati. Namun, jangan sampai mengganggu keselamatan pemimpin negara, yang pasti akan ditindak tegas oleh aparat keamanan,” katanya.
Apalagi, kata Stanislaus, saat ini Indonesia sedang menggelar hajatan besar Pilkada 2024 yang dilakukan secara serentak, sehingga kewaspadaan akan potensi gangguan stabilitas politik dan keamanan perlu ditingkatkan.
“Momentum-momentum seperti ini pasti akan dimanfaatkan oleh orang-orang yang merasa tidak puas dengan adanya pemilu atau yang tidak suka dengan pemimpin,” ungkapnya.
Stanislaus percaya bahwa pihak keamanan, termasuk intelijen, telah mengantisipasinya. Namun, untuk meredam potensi ancaman atau ketidakpuasan dari masyarakat, ia menyarankan pemerintah untuk berdialog dengan pihak terkait.
“Ketidakpuasan itu wajar, jadi hadapi saja. Namun, tidak cukup hanya dihadapi dan diantisipasi; menurut saya, kepala negara, termasuk wakilnya, harus lebih banyak berdialog dengan masyarakat, terutama pihak-pihak oposisi,” ucapnya.
“Jadi kalau diam saja atau mungkin malah menghindari itu nanti akan terus ada aksi, diajak dialog saja pendapatnya ditampung saling berdiskusi itu sih yang lebih tepat,” tambahnya.
Stanislaus menegaskan, untuk menjaga kondusifitas dalam negeri, diperlukan dukungan solid dari aparat keamanan dan intelijen dalam mencegah berbagai ancaman, termasuk dalam pilkada serentak ini.
Dari sisi aparat keamanan, mereka harus menutup celah atau pintu masuk bagi ancaman, sementara intelijen bertindak melemahkan gerakan-gerakan aktor yang berencana membuat teror.
“Secara teori, ancaman muncul karena adanya eksploitasi terhadap kerawanan. Pihak keamanan harus menutup kerawanan tersebut, memastikan tidak ada pintu masuk bagi ancaman. Sementara intelijen bekerja menurunkan minat para aktor tersebut,” katanya.
Selain itu, ia menyarankan agar tidak terburu-buru melakukan tindakan represif kepada pihak yang diduga akan membuat kegaduhan. Pendekatan humanis lebih efektif untuk meredam gerakan mereka.
“Untuk menutup kerawanan, aparat keamanan bertindak. Jika ingin menurunkan minat aktor-aktor itu, intelijen bisa melakukan pendekatan melalui diskusi. Teknik penggalangan seperti ini bisa menciptakan suasana yang lebih kondusif,” jelasnya.
“Jadi bukan dengan tindakan represif, tapi dialog. Dalam negara demokrasi, adanya pendapat yang berbeda itu konsekuensi. Maka, dialog bisa menurunkan minat aktor, sehingga ancaman berkurang sesuai teori,” tandasnya.