Legislator PKS Ciptakan Peluang Dapatkan Cuan Digital Halal
- Istimewa
Jakarta, VIVA – Anggota Komisi 1 DPR-RI, Habib Idrus Al-Jufri mengutuk keras praktik judi online (judol) yang merusak moral serta ekonomi masyarakat, terutama anak muda. Menurutnya, judol bukan sekadar masalah kriminalitas, tetapi ancaman serius bagi kesejahteraan sosial yang berpotensi memperdalam kemiskinan struktural. Itu sebabnya judol mesti diperangi.
Legislator dari Fraksi PKS ini punya program Habib Idrus Academy (HIA) yang berupaya menciptakan alternatif bagi masyarakat untuk dapat penghasilan lewat peluang digital yang halal dan produktif.
“HIA memberikan pelatihan berbagai peluang di dunia digital. Dengan ini, masyarakat punya alternatif mencari nafkah yang lebih baik. Ketika mereka dapat penghasilan yang layak, ketertarikan terhadap judi online akan menurun secara alami. HIA ini adalah program reguler yang sudah berlangsung dan akan terus berlangsung, ” jelas Idrus dalam keterangannya, Senin 4 November 2024.
Idrus juga menambahkan, pelatihan yang diselenggarakan HIA ini mencakup berbagai bidang, mulai dari pemasaran digital, kewirausahaan online, hingga keterampilan teknologi. "Tidak menutup kemungkinan akan ditambah dengan keterampilan lainnya yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat," kata Idrus.
Dia berharap inisiatif ini tidak hanya membantu masyarakat meraih penghasilan, tetapi juga menjadi bagian dari solusi mengentaskan kemiskinan struktural.
Dengan visi memberdayakan masyarakat secara digital, Idrus ingin membuktikan komitmennya untuk mendukung program pemerintah dan mengawal generasi muda agar terhindar dari pengaruh negatif judi online.
"Inisiatif ini diharapkan menjadi salah satu solusi nyata bagi permasalahan ekonomi dan sosial yang dihadapi banyak keluarga di Indonesia,” harapnya.
Untuk diketahui, sampai pertengahan Juni 2024 lalu, jumlah korban judi online di Indonesia yang telah dipetakan pemerintah mencapai 2,37 juta penduduk. Dari jumlah tersebut, 2 persen di antaranya adalah anak-anak berusia di bawah 10 tahun. Itu berarti ada sedikitnya 80.000 anak di bawah 10 tahun terdeteksi bermain judol.
Dari data itu, 80 persen di antaranya merupakan kalangan menengah ke bawah. Mereka masuk dalam klaster nominal transaksi antara Rp10.000 sampai Rp100.000. Untuk klaster nominal transaksi kelas menengah ke atas antara Rp100.000 sampai Rp 40 miliar.