Majelis Masyayikh: UU Pesantren Memberi Landasan Hukum Menjamin Kemandirian dan Kekhasan

Sosialisasi UU Pesantren di Ponpes Nurul Qornain Jember
Sumber :
  • Istimewa

Jember, VIVA – Sebagai bentuk pengakuan dan kekhasan pesantren yang dijamin Undang-undang Pesantren, Majelis Masyayikh menyelenggarakan sosialisasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren di Pondok Pesantren Nurul Qornain, Jember.

Implikasi Ketergantungan pada Kecerdasan Buatan terhadap Proses Pembelajaran

Acara ini menegaskan komitmen negara untuk mendukung pesantren sebagai pilar pendidikan nasional yang khas dan mandiri. Diharapkan, UU Pesantren akan memperkuat eksistensi pesantren di tengah perubahan zaman, sekaligus menjaga nilai-nilai tradisional yang menjadi ciri khas lembaga pendidikan Islam ini.

KH. Abdul Ghaffar Rozin, Ketua Majelis Masyayikh, dalam sambutannya mengungkapkan bahwa UU Pesantren menjadi pengakuan resmi pemerintah atas kontribusi pesantren dalam masyarakat. 

Keterlibatan Akademisi dalam Perumusan Regulasi Perlu Dimaksimalkan

“Pesantren telah lama menjadi benteng utama dalam pembentukan karakter bangsa serta pusat pengembangan moral dan spiritual di tengah masyarakat. Sebagai pengakuan resmi, UU Pesantren memberi landasan hukum untuk menjamin kemandirian dan kekhasan pesantren,” ujar Rozin.

Sosialisasi UU Pesantren di Ponpes Nurul Qornain Jember

Photo :
  • Istimewa
Mantan Presiden Iran Marah UU Penggunaan Hijab Ditunda

UU Pesantren melibatkan Majelis Masyayikh sebagai badan independen yang bertanggung jawab dalam menjamin mutu pendidikan pesantren. 

Rozin menegaskan bahwa Majelis Masyayikh akan berperan dalam mengawal kualitas pendidikan pesantren tanpa intervensi, sehingga karakteristik dan independensi pesantren tetap terjaga.

“Sistem ini memiliki dua aspek utama: pertama, aspek eksternal yang dikelola oleh MM melalui evaluasi dan penilaian untuk memetakan serta mengembangkan strategi peningkatan mutu. Kedua, aspek internal yang ditangani oleh Dewan Masyayikh yang fokus pada pengawasan dan pengendalian mutu pendidikan di dalam pesantren,” tambah Rozin.

Prof. KH. Abd. A’la Basyir menyoroti pentingnya menjaga tradisi pesantren, yang menekankan kedekatan hubungan antara guru dan santri, serta metode pembelajaran kitab kuning yang menjadi ciri khasnya. 

“Pesantren berbeda dengan sekolah berasrama. Di pesantren, guru dianggap sebagai orang tua dalam agama. Hubungan ini menciptakan mata rantai keilmuan yang kuat dan perlu dijaga. Kami tidak ingin campur tangan yang mengubah kekhasan pesantren ini,” ujarnya.

Sekretaris Majelis Masyayikh, KH. A. Muhyiddin Khatib, juga menegaskan bahwa pengakuan formal melalui UU ini menjadi kebanggaan bagi pesantren. Namun, ia mengingatkan bahwa dengan hadirnya undang-undang ini, beberapa pihak mungkin khawatir akan munculnya intervensi yang bisa mengubah nilai-nilai pesantren. 

“Begitu UU ini lahir, ada beberapa kekhawatiran. Perlu kita pahami bersama agar tidak menjadi persoalan di antara kita. Kita semua, terutama para kiai, maqomnya itu mengatur, bukan diatur,” kata Muhyiddin.

Lebih lanjut, Muhyiddin menjelaskan bahwa UU Pesantren adalah bagian dari upaya panjang untuk menguatkan posisi pesantren dalam pendidikan nasional, sekaligus bentuk penghargaan atas peran pesantren dalam sejarah Indonesia. 

“Lahirnya UU ini bukan hadiah dari pemerintah, tapi membayar utang kepada pesantren. Pesantren adalah basis kebudayaan dan peradaban bangsa Indonesia,” tegasnya. 

Ia menambahkan, kualitas dan kuantitas lulusan pesantren yang kini berjumlah jutaan mencerminkan kontribusi besar lembaga ini terhadap masyarakat.

Di sisi lain, KH. Muhyiddin juga menyoroti bahwa pesantren tidak hanya membutuhkan pengakuan, tetapi juga dukungan agar kualitas dan tradisi pendidikannya dapat terus berkembang. 

Majelis Masyayikh, melalui Dewan Masyayikh, bertanggung jawab penuh atas pengembangan kurikulum dan standar pendidikan pesantren tanpa intervensi dari pemerintah. 

“Majelis Masyayikh bukan bagian dari pemerintah, Majelis Masyayikh tidak bisa didikte oleh pemerintah. Yang bisa mengarahkan Majelis Masyayikh adalah kiai-kiai Dewan Masyayikh pesantren,” ujarnya.

Sebagai dukungan tambahan, UU ini juga memberikan akses pendanaan yang lebih stabil bagi pesantren melalui dana abadi pesantren yang diatur dalam Pasal 49. Dana ini diharapkan akan memungkinkan pesantren untuk menjalankan operasional secara mandiri, tanpa harus bergantung sepenuhnya pada sumbangan masyarakat. 

“Pesantren akan menerima dana abadi dari pemerintah. Ini langkah besar yang membuat pesantren bisa lebih mandiri dalam pengelolaan operasionalnya,” jelas KH. Badrtut Tamam, salah satu narasumber dalam acara ini.

Sebagai penutup, Abd. A'la menyampaikan harapan bahwa UU Pesantren akan membawa pesantren ke level yang lebih tinggi, menjadikannya lembaga pendidikan yang diakui tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di kancah internasional.

Dengan standar mutu yang dikembangkan oleh MM dan Dewan Masyayikh, pesantren diharapkan menjadi pilihan utama bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan pendidikan karakter yang unggul dan mandiri.

“Kami berharap sistem penjaminan mutu ini bisa menjadi alat efektif yang meningkatkan kualitas pendidikan pesantren, memperkuat pengelolaannya, dan mengangkat daya saing santri di masa depan. Pesantren adalah pilar pendidikan karakter bangsa, dan dengan UU ini, kami yakin masa depan pendidikan pesantren akan semakin cerah,” tutup Abd. A'la.

Kegiatan sosialisasi ini diharapkan menjadi momentum penting bagi pesantren di seluruh Indonesia untuk memahami dan mengoptimalkan UU Pesantren dalam mendukung misi mereka.

Melalui pengakuan formal, afirmasi, dan fasilitasi yang diberikan oleh UU ini, pesantren tidak hanya akan terus tumbuh dan berkembang, tetapi juga mampu bersaing di era globalisasi dengan mempertahankan nilai-nilai luhur yang telah menjadi dasar sejak awal berdirinya pesantren di Indonesia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya