Sosialisasi UU Pesantren di Cilacap, Majelis Masyayikh Bicara Kesetaraan Pendidikan

Sosialisasi UU Pesantren di Ponpes Al Ihya Ulumaddin Cilacap
Sumber :
  • Istimewa

Cilacap, VIVA – Kegiatan sosialisasi mengenai Undang-Undang No. 18 Tahun 2019 yang mengatur tentang pesantren kembali diadakan oleh Majelis Masyayikh di Pondok Pesantren Al Ihya ‘Ulumaddin Cilacap.

Sebelum Disepakati, Baleg DPR Sebut Ada 299 RUU Masuk Usulan

Acara yang berlangsung di Pondok Pesantren tersebut dihadiri oleh tiga narasumber terkemuka, yakni KH. Labul Umam, M.E., KH. Abdul Aziz Affandy, serta Dr. KH. Abdul Ghofur Maimoen, M.A. Kegiatan ini bertujuan untuk menyampaikan upaya dalam membangun sistem penjaminan mutu pendidikan di lingkungan pesantren.

KH. Abdul Aziz Affandy, salah satu narasumber, menjelaskan bahwa kehadiran UU No. 18 Tahun 2019 merupakan langkah penting dalam memberikan rekognisi, afirmasi, dan fasilitasi bagi pesantren di Indonesia. Menurutnya, pesantren telah berperan sebagai pusat transmisi ilmu dan basis kebudayaan, yang memiliki peran signifikan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia hingga saat ini.

Hari Guru Nasional 25 November 2024, Apakah Sekolah Libur?

"Dengan hadirnya UU ini, pesantren telah diakui sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional," ujarnya.

Heboh Daging Berbau Busuk Ditemukan di Kantin Sekolah, Orang Tua Minta Pertanggungjawaban

Lebih lanjut, KH. Abdul Aziz menekankan pentingnya kesetaraan bagi lulusan pesantren. Ia menyatakan bahwa dengan diakuinya ijazah pesantren, lulusan pesantren akan mendapatkan hak yang sama dengan lulusan pendidikan formal lainnya.

"InsyaAllah, lulusan pesantren nantinya dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dan mendapatkan pekerjaan yang layak," imbuhnya.

Majelis Masyayikh menegaskan bahwa mereka tetap menjaga kekhasan pesantren melalui metode afirmasi dan fasilitasi, bukan dengan cara penyeragaman. KH. Abdul Aziz menyatakan komitmen Majelis Masyayikh untuk tetap mempertahankan independensi pesantren dan tidak akan melakukan intervensi yang akan merugikan pesantren.

"Kami (Majelis Masyayikh) akan terus berfokus pada prinsip-prinsip ini untuk pengembangan pendidikan pesantren," tambahnya.

KH. Abdul Ghofur Maimoen, juga menyoroti tanggung jawab Majelis Masyayikh dalam memastikan penjaminan mutu pendidikan di pesantren. Menurutnya, dalam UU tersebut terdapat tiga fungsi utama pesantren: pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat, dengan fokus utama pada fungsi pendidikan.

"Kami, Majelis Masyayikh, ingin memastikan bahwa pendidikan di pesantren diakui dan didukung oleh negara," ujarnya.

Majelis Masyayikh menekankan bahwa ijazah dari seluruh pesantren tidak boleh ditolak, karena sudah diakui oleh negara.

"Jika ada lulusan pesantren yang mengalami penolakan saat melamar pekerjaan karena ijazahnya, mereka berhak untuk melaporkan masalah tersebut, dan negara berkewajiban memberikan perlindungan," jelas Gus Ghofur.

Dalam upaya penjaminan mutu pendidikan, Majelis Masyayikh juga berkolaborasi dengan Dewan Masyayikh yang memiliki pemahaman mendalam mengenai proses pendidikan di pesantren. Proses pendidikan di dalam pesantren, termasuk kurikulum dan metode pembelajaran, akan dirumuskan oleh Dewan Masyayikh dengan persetujuan Majelis Masyayikh.

"Secara UU dianggap sah, dengan minimal 3 anggota Dewan Masyayikh dan 1 pimpinan yang merupakan pengasuh pesantren tersebut. Sehingga penjaminan mutu pendidikan pesantren di sini akan berjalan sangat optimal karena benar-benar diambil atau dipupuk oleh orang-orang di dalam pesantren yang sangat mengenal kultur dan proses pendidikan di dalamnya.” tambahnya.

Kegiatan sosialisasi ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai peran penting pesantren dalam sistem pendidikan nasional. Dengan adanya pengakuan dan dukungan dari pemerintah, diharapkan pesantren dapat terus berkembang dan berkontribusi positif bagi masyarakat dan bangsa.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya