Akademisi Antikorupsi Bersuara Desak Bebaskan Mardani Maming Korban Mafia Peradilan

Mardani H Maming
Sumber :
  • IST

Jakarta, VIVA – Kesesatan hukum dalam perkara Mardani H Maming memperkuat fakta bahwq mafia peradilan di Indonesia masih leluasa berkerja. 

Gus Miftah Sebut Mahfud MD 'Cupu', Bandingkan dengan Gibran di Atas Panggung

Kasus Zarof Ricar yang baru-baru ini mengejutkan publik memperkuat kajian para akademisi antikorupsi dan guru besar ilmu hukum terkait kekeliruan dan kekhilafan hakim dalam kasus Mardani H Maming nyata adanya. 

Perkara yang menjerat Mardani H Maming menyoal perizinan tambang. Perizinan itu sejatinya telah melalui kajian di daerah hingga pusat.

Parlemen Israel Akan Pecat Jaksa Agung Perempuan

Barang Bukti Hampir 1 Triliun dan Emas 51 kg Emas dari Makelar Kasus Zarof Ricar

Photo :
  • VIVA.co.id/M Ali Wafa

Bahkan, IUP yang dikeluarkan telah mendapatkan sertifikat clear and clean (CNC) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) selama 11 tahun.

Ramai Isu 'Parcok', Mahfud MD Heran Kapolri Listyo Sigit Bungkam

Berdasarkan fakta persidangan, proses peralihan IUP ini juga telah mendapatkan rekomendasi dari kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Tanah Bumbu yang menyatakan bahwa proses tersebut sudah sesuai dengan aturan undang-undang yang berlaku, ditambah paraf dari Sekda, Kabag Hukum, dan Kadistamben

Fakta tersebut memunculkan kritik keras dari Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran Prof. Romli Atmasasmita. 

Ia mengkritik dalam penanganan hukum dalam kasus Mardani Maming ada sejumlah kekeliruan yang sangat serius.

Pakar hukum Romli Atmasasmita

Photo :
  • VIVAnews/Tri Saputro

"Menurut saya, ada delapan kekeliruan yang bisa dikategorikan sebagai kesesatan dalam penerapan hukum," katanya.

Prof Romli menilai bahwa proses penuntutan kasus ini dipaksakan dengan penerapan pasal yang kurang tepat. 

Ia menjelaskan bahwa penerapan Pasal 12 b UU Nomor 20 tahun 2001 oleh Hakim Kasasi dalam perkara Mardani Maming mestinya tidak hanya menggunakan pendekatan normatif tetapi juga harus mempertimbangkan pendekatan wessensschau.

Menurutnya pasal tersebut bertujuan untuk memberikan efek pencegahan agar penyelenggara negara menjalankan tugas sesuai UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, sebelum menerapkan UU Tipikor Tahun 1999/2001. 

Kasus hukum yang disidangkan di pengadilan (foto ilustrasi).

Photo :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

“Jadi, pola pemikiran sistematis, historis, dan teleologis dalam putusan Kasasi perkara Nomor 3741/2023 atas nama Mardani Maming tidak dijalankan. Putusan tersebut sudah memenuhi alasan adanya novum serta kekhilafan atau kekeliruan nyata dari hakim,” ujarnya. 

Senada dengan Prof Romli, Guru besar Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Prof Yos Johan Utama menyebut putusan dalam perkara itu syarat dengan kekeliruan.

Berdasarkan kajiannya, mantan Rektor Undip ini mengkritik penghukuman yang dijatuhkan hakim terhadap Mardani H Maming terkait pasal yang dijeratkan kepada terdakwa.

Menurutnya, majelis hakim pidana diduga khilaf dan keliru karena ketentuan yang dijadikan dasar dituduhkan kepada terpidana, yakni pasal 97 ayat 1 undang-undang 4 tahun 2009 tentang pertambangan, mineral dan batubara adalah salah alamat, karena larangan itu ditujukan hanya untuk pemegang IUP dan IUPK 

“Fakta yuridis menunjukkan bukti bahwa Mardani H. Maming selaku bupati dan sekaligus pejabat tata usaha negara mempunyai kewenangan atributif menerbitkan IUP dan IUPK sebagaimana diatur dalam pasal 37 ayat 1 undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan, mineral dan batubara,” katanya.

Yos menjelaskan, dalam kasus yang menjerat mantan ketua umum Hipmi yang saat itu menjabat sebagai bupati merupakan orang yang memberikan bukan yang memegang izin.

Dengan demikian Yos Johan berpendapat agar putusan hakim tersebut dapat dikaji ulang, sebab Mardani H Maming diketahui sebagai pihak yang mengeluarkan izin seharusnya tidak bisa dijerat dengan pidana sebagaimana yang diatur dalam UU tersebut.

Terpisah, Aktivis hak asasi manusia (HAM) Todung Mulya Lubis menyoroti terjadinya miscarriage of justice (peradilan sesat) dalam penanganan perkara korupsi atas nama Mardani H Maming, mantan bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, Periode 2010-2015 dan 2016-2018. 

Menurut Todung, penjatuhan pidana terhadap Maming merupakan hal yang dipaksakan karena tidak didasarkan pada alat bukti yang memadai. 

“Bentuk miscarriage of justice yang paling mencolok adalah tidak dipenuhinya hak atas fair trial. Hakim melakukan cherry picking terhadap alat bukti yang dihadirkan selama persidangan. Hakim lebih memilih untuk mempertimbangkan keterangan saksi yang tidak langsung (testimonium de auditu) karena hal itu sesuai dengan dakwaan penuntut umum ketimbang mempertimbangkan alat bukti lain yang menyatakan hal sebaliknya,” ujar Todung.

Todung, yang juga pendiri ICW, menilai sikap berat sebelah seperti ini jelas merupakan unfair trial. Jika alat bukti yang ada dilihat secara fair, sebenarnya dakwaan penuntut umum tidaklah terbukti.

Pengkajian ulang putusan tersebut juga diamini oleh Prof Mahfud Md, yang menyebut makelar kasus seperti Zarof ini bermain bukan hanya untuk membebaskan terdakwa tetapi sebaliknya dapat pula atas pesanan pihak tertentu mengarahkan agar seseorang dipidana melalui rekayasa kasus, padahal tidak cukup bukti untuk dijatuhkan pidana.

Tindakan dari Zarof Ricar ini merupakan secuil kasus dari mafia peradilan di republik Indonesia yang sudah berjalan lama.

Dalam pernyataannya di akun youtubenya, Mahfud menyebut tindak tanduk Zarof selama menjabat harus ditelusuri oleh Jaksa Agung. 

Sudah menjadi makelar kasus sejak tahun 2012 – 2022, Mahfud menilai perlu adanya penelusuran pada kasus yang sudah Zarof tenggarai. 

"Harusnya perkara ini ditelusuri, kejaksaan harus buka lagi perkaranya. Kalau bisa disidang kembali. Biar tidak ada korban yang dihukum karena hanya menjadi kambing hitam," ujarnya. 

Ia menilai jika ada korban kambing hitam dalam sejumlah perkara yang terindikasi dalam kasus ini, bisa dilakukan Peninjauan Kembali.

Pimpinan KPK jilid V di Gedung Merah Putih KPK

Wakil Ketua KPK Akui Masih Masih Ada Lima DPO Korupsi Belum Ditangkap

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan masih ada lima nama Daftar Pencarian Orang (DPO) yang belum berhasil ditangkap terkait dengan kasus korupsi.

img_title
VIVA.co.id
17 Desember 2024