Warga Jabodetabek Tolak Wacana Kenaikan Tarif KRL dan Subsidi Pertalite Berbasis NIK, Ini Alasannya

Rangkaian KRL Commuterline
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Paramayuda

Jakarta, VIVA – Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Kereta Rel Listrik (KRL) berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK), membatasi subsidi bahan bakar jenis Pertalite, serta menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) menjadi 12% memicu penolakan dari mayoritas masyarakat di Jabodetabek.

Elektabilitas Khofifah Tak Tertandingi, Pengamat: Incumbent Berpeluang Besar Menangkan Pilgub

Berdasarkan survei dari lembaga KedaiKOPI yang melibatkan 1.100 responden di Jabodetabek, sebagian besar masyarakat menilai kebijakan tersebut akan menambah beban ekonomi mereka yang sudah berat di tengah kenaikan harga kebutuhan pokok.

Direktur Riset dan Komunikasi KedaiKOPI, Ibnu Dwi Cahyo, mengungkapkan bahwa hasil survei menunjukkan sebanyak 78,5% responden menolak wacana penyesuaian tarif KRL berdasarkan NIK.

Survei, Supian-Chandra Ungguli Petahana di Pilkada Depok 2024

"Alasan utama penolakan ini adalah ketidakpercayaan masyarakat terhadap efektivitas kebijakan berbasis pendataan NIK untuk menargetkan subsidi dengan tepat sasaran”, kata Ibnu dalam keterangan yang diterima VIVA.co.id.

Ia menambahkan banyak masyarakat yang khawatir kebijakan ini justru akan memperumit layanan di gerbang stasiun dan meningkatkan risiko penyalahgunaan data pribadi.

Elektabilitasnya Beda Tipis dengan Pram-Rano, Ridwan Kamil: Survei Bukan Penentu Takdir

Di samping itu, hanya 20,6% responden yang merasa penyesuaian tarif KRL berbasis NIK akan berhasil mencapai target.

Selain isu tarif KRL, survei ini juga mengungkap keberatan masyarakat terkait pembatasan subsidi Pertalite. Sebanyak 55,6% responden menyatakan penolakan.

Antrean BBM pertalite

Photo :
  • Istimewa

“Masyarakat menganggap subsidi BBM seharusnya tetap dipertahankan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, mengingat tingginya ketergantungan mereka terhadap BBM bersubsidi,” ujar Ibnu.

Masyarakat khawatir kebijakan tersebut akan menaikkan harga Pertalite, yang pada akhirnya berpotensi mengerek harga-harga kebutuhan dasar lainnya.

58,6% responden merasa kebijakan tersebut tidak akan tepat sasaran dan bisa menyulitkan mereka yang memang membutuhkan subsidi. Banyak dari mereka menyoroti ketidaktepatan sistem pendataan penerima subsidi yang dinilai masih amburadul dan memerlukan perbaikan mendasar agar tidak merugikan masyarakat berpenghasilan rendah

Ketidaksetujuan masyarakat juga semakin meningkat pada rencana kenaikan PPN dari 11% menjadi 12%. Sebanyak 83,2%

Responden menyatakan keberatan atas kebijakan ini, karena dampaknya akan menambah tekanan ekonomi dan memengaruhi hampir semua aspek kehidupan.

"Isu kenaikan PPN menjadi kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat, terutama karena dampaknya tidak hanya pada satu sektor tetapi mencakup berbagai aspek kehidupan," ujar Ibnu.

Menyikapi hasil survei ini, Ibnu menambahkan bahwa pemerintah sebaiknya mempertimbangkan pendekatan kebijakan yang lebih partisipatif.

Pemerintah harus mempertimbangkan dampak sosial dari kenaikan pajak di tengah kenaikan harga BBM dan tarif transportasi.

“Kebijakan ekonomi yang menyentuh kebutuhan pokok seperti BBM dan transportasi harus mempertimbangkan daya beli masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah yang paling terdampak,” tutup Ibnu Dwi Cahyo.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya