Pemisahan Fungsi Intelijen Dalam Negeri dan Luar Negeri Dinilai Penting, Ini Alasannya
- Washington Examiner
Jakarta, VIVA - Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (LESPERSSI), Rizal Darma Putra menilai pentingnya pemisahan fungsi strategis antara intelijen dalam negeri dan luar negeri. Menurutnya, pemisahan ini harus dilakukan mengingat kompleksitas ancaman yang dihadapi Indonesia saat ini.
“Pemisahan fungsi intelijen luar negeri dan dalam negeri sangat diperlukan, begitu pula dengan kewenangan penegakan hukum bagi intelijen dalam negeri," kata Rizal dalam keterangannya di Jakarta pada Selasa, 8 Oktober 2024.
Di sisi lain, Rizal juga menyoroti potensi abuse of power yang dapat terjadi di berbagai sektor, termasuk BIN. Mengingat, kata dia, tidak adanya otoritas yang memiliki kewenangan jelas untuk melakukan investigasi terhadap operasi BIN.
Selain itu, Rizal juga menilai pentingnya aspek pengawasan terhadap lembaga intelijen negara. Akan tetapi, tantangan pengawasan terhadap lembaga intelijen, khususnya BIN sangat kompleks.
Ia menyebutkan ada tiga bentuk pengawasan yang penting terhadap intelijen, yaitu pengawasan anggaran, operasi, dan regulasi. Namun, di banyak negara, pengawasan terhadap lembaga intelijen selalu mengalami kesulitan.
“Ada tiga bentuk pengawasan yang penting dilakukan terhadap intelijen, yaitu pengawasan anggaran, operasi, dan regulasi. Namun, di banyak negara, pengawasan terhadap lembaga intelijen selalu mengalami kesulitan,” ucapnya.
Ia juga menambahkan bahwa transparansi dalam pengawasan sangat penting untuk mengurangi potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam kesempatan yang sama, Peneliti BRIN Muhammad Haripin menggarisbawahi pentingnya penguatan BIN sebagai koordinator intelijen nasional sesuai dengan amanat UU Intelijen. Namun, ia menyebut bahwa dalam praktiknya, fungsi BIN sebagai koordinator belum optimal, disebabkan oleh adanya ego sektoral di antara lembaga-lembaga yang memiliki fungsi intelijen.
“Penguatan dan penegasan peran BIN sebagai koordinator intelijen sangat diperlukan untuk mengatasi masalah ini,” katanya.
Terkait pengembangan SDM, Haripin menilai bahwa proses rekrutmen dan pendidikan intelijen di Indonesia telah mengalami kemajuan yang signifikan, termasuk dengan adanya sekolah khusus, kurikulum, dan pengajar dari kalangan sipil dan peneliti.
Namun, ia juga menyoroti bahwa pola pendidikan ideal untuk para intelijen masih perlu diformulasikan lebih baik, terutama untuk menghindari politisasi di dalam BIN.
Haripin menyebut bahwa tantangan utama pengawasan terhadap BIN saat ini terletak pada kekosongan aturan yang mengatur kewajiban pengawasan, adanya konflik kepentingan, serta kompleksitas ancaman yang dihadapi.
"Pengawasan yang baik harus mampu meminimalisir konflik kepentingan dan memperkuat akuntabilitas anggaran BIN,” katanya.
Direktur Riset Indo Pacific Strategic Intelligence, Aisha Kusumasomantri menekankan perlunya penguatan intelijen luar negeri, terutama dalam menghadapi ancaman dari luar yang semakin kompleks, seperti destabilisasi politik yang dapat memengaruhi keamanan nasional.
“Intelijen luar negeri harus lebih diperkuat karena ancaman eksternal semakin nyata,” tegas Aisha.
Ia juga mengkritisi pergeseran BIN yang awalnya lebih banyak diisi oleh kalangan sipil, namun kini didominasi oleh TNI dan Polri.
“Struktur dari sembilan deputi di BIN, hanya satu yang outward-looking, sedangkan yang lainnya cenderung inward-looking. Padahal, ancaman yang dihadapi lebih banyak berasal dari luar,” ungkapnya.