Polisi Aniaya Wartawan Liput Kericuhan Tolak Geotermal, HP Dirampas Data Pribadi Dibuka Paksa
- Jo Kenaru
Manggarai, VIVA – Pengeboran panas bumi atau geotermal di Poco Leok Kecamatan Satar Mese, Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) oleh PT. PLN (Persero) dari awal ditolak oleh mayoritas masyarakat yang menghuni wilayah tersebut.
Sangat kasat mata, eksploitasi energi terbarukan di 'titik api' Pulau Flores itu perlahan menghadirkan 'bara' yang mengusik persaudaraan ribuan warga Poco Leok.
Fakta di lapangan menunjukkan jumlah masyarakat yang menolak proyek tersebut jauh lebih banyak ketimbang yang pro.
Masyarakat yang menyetujui proyek eksploitasi panas bumi umumnya adalah para pemilik lahan yang sudah menerima dana ganti rugi lahan dari PLN. Sementara di sisi yang lain, walaupun berstatus pemilik lahan pada titik pengeboran tidak sedikit pula yang mati-matian menolak menyerahkan lahannya ke PLN, artinya jumlah warga yang menolak kian bertambah.
Tak terhitung lagi para petani dan masyarakat adat dari 10 Gendang (rumah adat) terlibat bentrok dengan aparat keamanan yang dikerahkan ke Poco Leok.
Awal Oktober 2024 sedikitnya terjadi dua kali keributan di sana. Pada 1 Oktober warga Poco Leok menggagalkan upaya pemasangan patok. Padahal saat itu Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Manggarai mengerahkan anggota TNI.
Lantaran diwarnai ketegangan sengit membuat jadwal pemasangan pilar-pilar batal dilaksanakan. Selanjutnya warga kembali menghimpun kekuatan membentuk pos jaga kampung.
Warga membentuk dua posko. Warga Gendang Lungar, Tere dan Jong menjaga Lingko Meter, sementara warga Gendang Rebak, Mucu, Mocok, Mori, Nderu, Ncamar dan Cako berjaga di Lingko Dering.
Keesokan harinya yakni, Rabu, 2 Oktober 2024, kegiatan tanam pilar berlanjut. Mobil PLN, BPN, TNI dan Polri berjejer di tepi jalan di Lingko Meter.
Puluhan aparat gabungan TNI Polri berhamburan menuju titik kumpul. Warga yang sudah bersiaga dari pagi menyambut pasukan TNI Polri dengan yel-yel menolak geotermal sambil membunyikan gong dan gendang.
Spanduk yang dibuat dari karung bekas, bertuliskan “Kami Tolak Geotermal Poco Leok" terlihat di setiap sudut lokasi aksi.
Pemimpin Redaksi Floresa.co dianiaya
Kericuhan antara warga dengan aparat pecah pada Pukul 14.00.WITA. Sejumlah orang ditarik, dipukuli dan ditendang. Situasi tak kondusif itu otomatis direkam Herry Kabut sebab dia adalah seorang jurnalis sekaligus Pemimpin Redaksi Floresa.co. Tapi sebaliknya, Herry yang kemudian menjadi 'target'.
Kericuhan yang pecah pada 2 Oktober 2024 siang hari itu berawal dari aksi represif aparat yang kemudian mengamankan 3 orang warga yang dituduh sebagai provokator.
Sedang fokus mengambil gambar, Herry tiba-tiba disergap ia ditarik paksa saat ia tengah meliput kericuhan warga dan aparat keamanan. Sejumlah anggota polisi melintir tangan dan memiting leher Harry lalu menyeretnya sejauh puluhan meter.
Harry mengaku sempat berteriak minta tolong karena merasa kesakitan dengan kuncian pada bagian lehernya.
"Ada satu orang polisi mengunci leher saya. Ada juga yang mencekik meninju muka dan menendang. Saya juga dengar ada teriak-teriak tuduh saya provokator. Ada juga polisi yang mau memborgol saya," tutur Harry kepada VIVA, Jumat, 4 Oktober 2024.
Wartawan ikut memukul Herry Kabut
Selain polisi, Herry juga dipukul oknum wartawan media lokal yang diketahui bernama Terry Janu. Dalam berita beredar Herry Kabut cukup menyebut inisial TJ tapi kepada VIVA dia bilang yang ikut memukul adalah Terry Janu.
"Saya sangat ingat, Terry Janu ikut pukul saya di bagian pelipis. Saya lihat dia waktu mendekat pakai baju kaos merah. Dia juga pukul saya di bagian muka," tutur Herry Kabut.
Hp disita percakapan WhasApp dibuka paksa
Harry yang sangat kesakitan didorong ke atas sebuah mobil. Di sana ia kembali diinterogasi dan didesak membuktikan dirinya seorang wartawan.
Salah seorang anggota polisi merampas hape milik Harry. Meski sempat protek hak privatnya dilanggar polisi tersebut justru memaksa Harry membuka kata sandi sehingga polisi tersebut leluasa memeriksa isi percakapan Harry.
"Percakapan WhatsApp saya diperiksa semua. Profil WA kontak yang mengirim pesan ke saya diperiksa semua. Polisi itu bilang dia memantau saya sejak lama. Saya tidak paham maksud dia apa," kata Harry.
Harry melanjutkan, oknum tersebut juga membaca pesan masuk dari seorang rekan jurnalis. Pesan yang belum dibaca Harry itu disuruh membalas mengikuti redaksi polisi tersebut seolah-olah Harry tidak ditangkap hanya berbincang dengan polisi di luar titik aksi.
"Dia juga (polisi) membaca dan memeriksa pesan dari dua jurnalis yang menanyakan posisi dan keadaan saya. Dia menyuruh saya membalas pesan dari salah satu jurnalis itu. Dia bilang jawab saja kalau kamu aman dan kamu diamankan karena tidak membawa kartu identitas. Saya membalas pesan itu dalam keadaan ponsel saya masih dipegang polisi itu. Dia hanya menyuruh saya mengetik jawabannya sedangkan hp masih dia yang pegang," ungkap Harry.
Harry mengaku hak privasinya dalam penguasaan polisi. Bahkan untuk memeriksa berkas surat tugas sebagai pemimpin redaksi (Pemred) yang ada digaleri hp-nya mesti meminta izin kepada polisi yang sedari tadi memegang ponsel Harry.
Setelah memperlihatkan surat tugas Herry sebagai Pemred Floresa, polisi yang masih menjepit Harry baru melepas lengannya dari leher Herry.
Sementara seorang anggota polisi lainnya masih mendesak Harry supaya mengakui apa motivasi Floresa terus-menerus menulis tentang kisruh geotermal Poco Leok.
"Setelah banyak interogasi saya dilepaskan dari mobil dan kembali ke Ruteng malam itu. Sampai sekarang saya masih dihantui perasaan trauma," tutup Harry.
Kapolres tidak merespons
VIVA juga berusaha menghubungi Kapolres Manggarai AKBP Edwin Saleh. Tapi Edwin mengarahkan untuk mewawancarai Humas Polres Manggarai.
"Langsung ke kasi humas aja ya bro...bahan rilisnya sdh dibuat," rulis Edwin Saleh melalui perpesanan.
Sebelumnya VIVA juga menghubungi AKBP Edwin melalui panggilan WhatsApp tapi dia meminta menunda wawancara karena masih melaksanakan giat latihan tembak.
"Selesai latihan tembak dulu ya nanti saya telpon balik," jawab Edwin Saleh dihubungi Jumat pagi.
Lokasi pengembangan panas bumi di Poco Leok terdiri dari 60 titik pengeboran mencakup 13 kampung di tiga desa, di Kecamatan Satar Mese yakni Desa Lungar, Mocok, dan Golo Muntas.
Proyek ambisius PT. PLN (Persero) itu dalam rangka memenuhi target menaikkan kapasitas eksisting PLTP Ulumbu dari 7,5 MW saat ini menjadi 40 MW. (Jo Kenaru/NTT)