DPR Minta Pemerintah Tinjau Ulang Aturan Kemasan Rokok Polos di RPMK

Ilustrasi berhenti merokok.
Sumber :
  • Dok. Istimewa

Jakarta, VIVA – Sejumlah anggota dewan dari Badan Legislasi (Baleg) hingga Komisi IX DPR RI yang menaungi bidang kesehatan dan ketenagakerjaan berbagai fraksi pun turut angkat bicara terkait kemasan rokok polos yang termuat dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK).

Bea Cukai Tegal Musnahkan Lima Juta Batang Rokok Ilegal

Anggota Baleg DPR RI dari Fraksi Golkar, Firman Soebagyo, menyoroti bahwa Kebijakan yang menjadi turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan ini, mengabaikan hak-hak hidup masyarakat yang bergantung pada industri tembakau.

Menurutnya, kemasan rokok polos tanpa merek berisiko mendiskriminasi kelompok-kelompok masyarakat kecil, termasuk pedagang asongan yang telah berkontribusi pada pendapatan negara melalui cukai.  

Ahmad Muzani Tegaskan Gerindra Tidak Serang PDIP soal Kenaikan PPN 12%

Panen tembakau petani Indonesia. (ilustrasi)

Photo :
  • ANTARA FOTO/Anis Efizudin

"Hal tersebut menunjukkan adanya ketidakadilan dalam proses pembuatan peraturan, yang seharusnya melibatkan semua pihak, termasuk kementerian/lembaga terkait, tanpa adanya unsur diskriminatif," kata Firman dikutip melalui siaran pers di Jakarta, Selasa, 24 September 2024. 

Tolak PPN 12%, PSI Sebut PDIP Seperti Pahlawan Kesiangan

Firman menyoroti beleid RPMK yang bertentangan dengan RUU Komoditas Strategis Nasional (RUU KSN). Ia menyebutkan bahwa aturan ini, sebagai turunan dari undang-undang, tidak boleh mengintervensi atau menganulir ketentuan yang sudah diatur dalam undang-undang utama.

Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PDIP, Rahmad Handoyo, menyatakan bahwa tembakau adalah komoditas unggulan nasional yang menghidupi jutaan orang, mulai dari petani, pekerja, hingga peritel.

Rahmad mengingatkan bahwa dampak dari kebijakan ini dapat menghimpit industri hasil tembakau secara keseluruhan, yang berdampak luas pada lapangan pekerjaan, terutama di tengah maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) pada sektor-sektor lainnya. 

Senada, Anggota Komisi IX DPR lainnya, Nur Nadlifah menyoroti permasalahan dalam proses pembuatan peraturan yang dianggap tidak melibatkan parlemen sama sekali. RPMK maupun PP 28/2024 tidak sesuai dengan kesepakatan awal antara parlemen dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada saat pembahasan UU Omnibus Kesehatan.

RPMK dan PP 28/2024 dinilainya bertentangan dengan banyak aspek dan aturan lainnya, seperti melanggar perlindungan hak kekayaan intelektual hingga Perpres No. 68/2021 yang mengamanatkan Peraturan Menteri perlu mempertimbangkan aspek-aspek yang berkualitas, harmonis, tidak sektoral, serta tidak menghambat kegiatan masyarakat dan dunia usaha.

Ilustrasi rokok ilegal

Photo :
  • Bea Cukai

“Rencana kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek yang sudah melewati batas wewenang Kemenkes," tutur Nadlifah.

Dia memprediksi, jika di-sah-kan, kemasan rokok polos tanpa merek berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal di masyarakat serta menekan perekonomian nasional. 

Di sisi lain, Daniel Johan, anggota Komisi IV DPR RI Fraksi PKB, juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap RPMK. Ia berpendapat bahwa kebijakan yang terlalu ketat dapat mengabaikan realitas sosial dan ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat yang bergantung pada produk tembakau. 

Daniel menerangkan, industri rokok merupakan salah satu penyumbang utama pendapatan negara, dan peningkatan cukai yang direncanakan untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025 bisa terancam jika kebijakan ini diterapkan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya