Belasan WNI jadi Korban Perdagangan Orang di Myanmar, DPR: Negara Harus Segera Merespons Cepat

Pekerja migran Indonesia Ilegal. (Foto ilustrasi)
Sumber :

Jakarta, VIVA - Belasan warga Sukabumi, Jawa Barat diduga jadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan kini disekap di Myawaddy, Myanmar. Persoalan ini jadi perhatian DPR.

Gus Yahya: Masyarakat Perlu Dengar Penjelasan Pemerintah soal PPN 12 Persen

Komisi IX DPR meminta Pemerintah RI untuk segera melakukan operasi penyelamatan terhadap WNI yang jadi korban TPPO. Awalnya, para WNI itu berniat jadi pekerja migran Indonesia (PMI).

Anggota Komisi IX Rahmad Handoyo mengatakan pemerintah bersama penegak hukum dan instansi terkait mesti segera mengevakuasi para WNI yang jadi korban TPPO di Myanmar.

Disahkan Pemerintah, Ini Struktur Kepengurusan PMI di Bawah Jusuf Kalla

"Kondisi mereka sudah sangat mengkhawatirkan sehingga Pemerintah harus segera menyelamatkan mereka,” kata  Anggota Komisi IX DPR Rahmad Handoyo, dalam keterangannya, dikutip pada Sabtu, 14 September 2024.

Dia bilang negara mesti melakukan upaya lebih. Menurut dia, Kementerian Ketenagakerjaan, Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) bersama pihak Kementerian Luar negeri (Kemenlu) yang diwakilkan oleh pihak KBRI bekerja sama dengan TNI/Polri bisa menggandeng Interpol untuk membantu pembebasan WNI yang disekap. 

Pemerintah Terapkan Kenaikan PPN 12 Persen dengan Asas Keadilan dan Gotong Royong

Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo.

Photo :

Terungkapnya kasus TPPO itu berawal dari rekaman video yang dikirimkan oleh salah seorang korban bernama Samsul (39) yang sempat mengirim titik lokasi terakhir dirinya kepada keluarga di Sukabumi via aplikasi pesan. Pesan itu dikirim pada akhir Agustus 2024 lalu. Selanjutnya, keluarga korban membuat laporan ke pihak berwajib.

Selanjutnya, viral juga di media sosial sebuah video amatir yang memperlihatkan beberapa pria dalam sebuah ruangan. Mereka mengaku disekap di Myanmar setelah jadi korban TPPO dan berharap pertolongan dari Pemerintah.

Berdasarkan informasi, para WNI itu awalnya diiming-imingi bekerja sebagai admin kripto. Namun, kenyataannya mereka bekerja sebagai admin judi online dan dipaksa bekerja selama 15 jam tanpa gaji. Para korban juga mengaku mengalami penyiksaan dengan cara disetrum jika tak mencapai target.

“Pemerintah harus bisa memastikan bahwa keselamatan WNI kita yang disekap itu menjadi prioritas utama,” ujar Rahmad.

Dia mengingatkan nyawa para korban TPPO ini terancam bahaya. Maka itu, Rahmad meminta Pemerintah bisa meningkatkan upaya dengan melakukan langkah maksimal dan strategis untuk menyelamatkan para korban.

“Kalau tidak cepat diselamatkan, para korban akan terus mengalami eksploitasi, dan kekerasan baik secara fisik maupun mental. Gerak cepat Pemerintah dan instansi terkait sangat kita harapkan,” ungkap politikus PDIP itu.

“Negara, khususnya Kemenaker bersama KBRI dan BP2MI agar segera merespons cepat melalui operasi penyelamatan," lanjutnya.

Rahmad menyinggung kasus TPPO terhadap para WNI yang sudah kerap terjadi. Namun, antisipasi masih kurang maksimal. Terutama kasus TPPO pada kejahatan online scam.

Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) melaporkan, sebanyak 698 WNI menjadi korban TPPO sepanjang tahun 2024. Sementara, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) menerima 107 laporan korban TPPO, di mana sebanyak 44 orang berhasil dipulangkan namun sisanya masih berada di Myawaddi, Myanmar. 

Untuk WNI yang terlibat online scam, Kemlu dan Perwakilan RI sudah menangani 3.703 orang sejak tahun 2020 hingga Maret 2024. Melihat banyaknya WNI yang menjadi korban TPPO di luar negeri, Komisi IX DPR menekankan pentingnya langkah preventif untuk pencegahan terutama bagi masyarakat di daerah yang kerap jadi korban online scam.

“Dalam hal ini, BP2MI harus melakukan tindakan pencegahan bekerja sama dengan kementerian/lembaga terkait dan pemerintah daerah agar sosialisasi dan edukasi sampai kepada seluruh lapisan masyarakat," jelas Rahmad.

Lebih lanjut, dia menyoroti korban TPPO adalah masyarakat yang ingin bisa kerja di luar negeri melalui jalur cepat. Biasanya mereka nekat berangkat karena tergiur dengan ming-iming gaji besar. Padahal, perusahaan yang menawarkan pekerjaan tidak jelas.

Oleh karenanya, Rahmad mengingatkan agar edukasi terkait hal ini harus semakin masif sehingga masyarakat lebih hati-hati.

“Masyarakat harus betul-betul mendapat literasi agar saat ingin bekerja ke luar negeri, harus melalui jalur resmi. Sehingga calon PMI dapat dipastikan bekerja dengan perusahaan apa, siapa yang bertanggung jawab serta jelas hak dan kewajibannya,” papar Legislator dari Dapil Jawa Tengah V itu.

Lebih lanjut, Rahmad mengatakan sosialisasi berisi informasi ke masyarakat terkait banyaknya kasus TPPO juga harus semakin ditingkatkan. Selain itu, penting juga informasi edukatif agar masyarakat tidak tergiur berangkat ke luar negeri lewat jalur mandiri yang tidak resmi.

"Edukasi tentang cara-cara aman mencari pekerjaan di luar negeri sangat penting. Ini yang saya kira masih kurang, terbukti masih banyak warga yang menjadi korban penipuan dan kejahatan TPPO,” sebut Rahmad.

Rahmad juga mengingatkan penting peningkatan pengawasan dan penegakan hukum terhadap agen-agen tenaga kerja yang tidak resmi dan diduga terlibat dalam perdagangan manusia.

"Pengawasan terhadap agen tenaga kerja dan penegakan hukum terhadap pelaku TPPO masih lemah. Ini membuat para pelaku merasa aman untuk terus melakukan praktik ilegal mereka," ujar Rahmat.

Sebanyak 11 warga Sukabumi jadi korban TPPO dan disekap oleh jaringan mafia perdagangan orang di Myanmar. Awalnya para korban dijanjikan pekerjaan dengan gaji tinggi di Thailand.

Namun, begitu sesampai di Thailand, mereka justru dijebak dan dipaksa bekerja di bawah ancaman dan tekanan di wilayah konflik Myanmar. Berdasarkan keterangan dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), jumlah korban TPPO dalam kasus ini kemungkinan bertambah. Korban diduga tak hanya berasal dari Sukabumi saja. Namun, ada juga korban lain dari daerah Bandung hingga Bangka Belitung.

Adapun proses evakuasi para korban yang dilakukan Pemerintah belum juga membuahkan hasil. Hal itu mengingat korban berada di wilayah konflik Myawaddy, Myanmar yang merupakan lokasi konflik bersenjata dan saat ini dikuasai pihak pemberontak. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya