Saksi: SK Wajib Serahkan 1.136 Ton Emas ke Budi Said Bukan Surat Resmi PT Antam
- VIVAnews/Muhamad Solihin
Jakarta, VIVA – Syarif Faisal Alkadrie, Corporate Secretary Antam, mengungkapkan bahwa Surat Keterangan (SK) kekurangan serah emas Budi Said bukanlah surat resmi dan tidak sesuai dengan pedoman pengelolaan persuratan dan kearsipan di PT Antam Tbk. Surat tersebut tidak mencantumkan nomor surat atau nama jabatan pejabat yang menandatanganinya.
Pernyataan ini disampaikan saat sidang kasus dugaan rekayasa jual beli emas Budi Said di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Selasa, 10 September 2024. Pada sidang tersebut, jaksa mempertanyakan surat keterangan kekurangan penyerahan emas yang diajukan Budi Said ke PT Antam.
Surat itu ditandatangani oleh Endang Kumoro, Kepala Butik Emas Logam Mulia (BELM) Surabaya 01 Antam pada tahun 2018.
Surat tersebut menyebutkan bahwa Antam kurang menyerahkan emas sebanyak 1.136 kilogram dengan harga Rp 505 juta per kilogram. Surat ini kemudian digunakan oleh Budi Said sebagai dasar untuk menggugat Antam secara perdata.
Syarif menyatakan bahwa tidak ada nomor surat pada dokumen tersebut, yang bertentangan dengan pedoman pengelolaan persuratan dinas dan kearsipan PT Antam Nomor 359.K/0431 DAT Tahun 2015. Menurut Syarif, sesuai dengan bab 2 kebijakan manajemen PT Antam, surat harus dikelola dengan sistem yang terpusat.
"Asas sentralisasi digunakan dalam kebijaksanaan ketentuan dan dokumentasi evaluasi dan pelaksanaan sistem tata persuratan di suatu unit organisasi. Misalnya cara penomoran surat. Ini satu," kata Syarif dalam keterangannya, Selasa, 10 September 2024.
Kemudian, menurut prosedur operasi standar (SOP) untuk penomoran arsip atau surat keluar, terdapat beberapa langkah yang harus diikuti untuk penomoran tersebut.Â
Ia menjelaskan bahwa setelah pejabat berwenang menandatangani surat dan sekretaris pencipta memberikan stempel, sekretariat umum akan memberikan nomor pada surat tersebut.
"Sehingga dari dua hal ini, saya bisa menyimpulkan bahwa surat keterangan yang tidak memiliki nomor ini bukan merupakan surat resmi perusahaan," ucap Syarif.
Selanjutnya, surat yang dikeluarkan oleh Endang Kumoro juga tidak mencantumkan nama jabatan. Sesuai dengan ketentuan di PT Antam mengenai kewenangan penandatanganan surat dinas, surat tersebut harus menyertakan nama jabatan, nama pejabat, serta nomor pokok pegawai (NPP) selain tanda tangan.
Oleh karena itu, Syarif menyimpulkan bahwa surat keterangan itu bukan merupakan surat resmi dari perusahaan (PT Antam).
Analisis Syarif juga mencakup aspek kewenangan berdasarkan dokumen nota dinas Nomor 148/PLM/215/2018 mengenai Pedoman Pemasaran Produk dan Jasa di PT Antam. Dalam lampiran 11 poin 3, terdapat ketentuan tentang batasan pembelian dari butik emas.
Syarif menjelaskan bahwa BELM hanya melayani penjualan produk dalam negeri hingga transaksi Rp 2 miliar. Pembelian di atas jumlah tersebut harus diarahkan ke kantor pusat di Pulogadung, khususnya Unit Bisnis Pemurnian dan Pengolahan Logam Mulia (UBPP LM) Antam. Selain itu, biaya pengiriman logam mulia dari Pulogadung ke butik emas menjadi tanggung jawab konsumen.
"Jadi ini satu, dari sisi kewenangan untuk kepala butik kalau saya lihat di suratnya ini melebihi dari Rp 2 miliar, seharusnya ke Pulogadung," ujar Syarif.
Syarif juga membedah dari sisi kewenangan lainnya, dari kewenangan kepala butik berdasar SOP terkait delivery dan web order. Menurutnya, dalam SOP 700-08, kewenangan kepala butik atau management representatif hanya menandatangani faktur.
"Jadi, bukan membuat surat keterangan. Ini dua hal yang saya lihat secara kewenangan juga tidak tepat," ungkap Syarif.
Terakhir, mengenai isi surat keterangan berdasarkan kebijakan manajemen, seharusnya surat tersebut mencantumkan keterangan mengenai suatu hal pada waktu dan posisi tertentu, yang digunakan sebagai alat pembuktian atau permohonan informasi dari suatu instansi, dengan informasi yang disajikan harus benar.
Setelah Syarif memeriksa tanggal-tanggal transaksi pembelian logam mulia oleh Budi, ternyata tidak ada transaksi yang tercatat dalam sistem PT Antam.
"Berarti satu, informasi yang beredar tidak benar," bebernya.
Berikutnya soal harga yang tertera di surat keterangan dengan nominal Rp 505 juta per kg. Syarif membandingkannya dengan harga yang telah ter-publish di website resmi Antam pada 2018.
"Saya lihat di website itu di tahun 2018 mengenai histori harga, di sepanjang tahun 2018 itu harga terendah itu di Rp 640 jutaan (per kg)," ungkapnya.
Ketua majelis hakim Tony Irfan pun turut menggali lebih lanjut. "Tahun berapa itu?" tanyanya.
"Untuk tahun 2018. Itu yang paling rendah kalau lihat historinya di 23 Januari 2018, selebihnya (harganya) di atas itu (Rp 640 juta/kg)," balas Syarif.
"Jadi, poin kedua secara isi juga informasi yang disampaikan ini tidak benar, tidak sesuai dengan yang ada, ter-publish resmi di perusahaan," pungkas Syarif membeberkan poin-poin kesalahan surat keterangan tersebut.