Kuasa Hukum Keluarga Beberkan Bukti-bukti Kuat Dokter Aulia Risma Alami Perundungan

Dokter Aulia Risma, mahasiswi PPDS anestesi Universitas Diponegoro (Undip).
Sumber :
  • Istimewa/VIVA Surya Aditiya

Jakarta, VIVA – Kematian tragis dokter Aulia Risma yang sedang jalani program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro (Undip) di RSUP Kariadi, Semarang, terus mengundang perhatian publik,

Paksa Anak Berkebutuhan Khusus Makan Daging Musang, Pelaku Mengaku Ingin Viral

Dokter Aulia Risma yang diduga meninggal akibat perundungan atau bully dan tekanan berat dari para seniornya, kini menjadi fokus penyelidikan kepolisian dari Polda Jawa Tengah (Jateng).

Keluarga korban yang didampingi kuasa hukum serta tim dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) telah melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian.

Kuasa Hukum Agus Buntung Sebut Tindakan Pelecehan Atas Dasar Mau Sama Mau Tanpa Paksaan, Korban Bantah Keras

"Kemarin ibunda almarhumah Dokter Risma sudah datang ke Polda (Jateng) langsung ke SPKT bagian pelayanan pengaduan bersama pengacara dan tim dari Inspektorat Jenderal Kemenkes RI. Laporan langsung diterima," kata Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto Kamis, 5 September 2024 dikutip tvOne.

Keluarga dokter Aulia melapor ke Polda Jawa Tengah

Photo :
  • tvOne/Didiet Cordiaz
Kementerian Kesehatan Beri Penghargaan STBM, POSS, Bandara dan Pelabuhan Terbaik

Lebih rinci, kuasa hukum keluarga dokter Risma Aulia, Misyal Achmad menjelaskan, pihaknya telah mengumpulkan bukti-bukti yang menguatkan korban (dokter Aulia Risma) meninggal bunuh diri karena perundungan atau bully.

"Bukti yang kami lampirkan kemarin, di antaranya itu almarhumah (dokter Aulia Risma) memiliki tiga buah hp, antara lain percakapan almarhumah dengan rekan-rekan dan seniornya sebagai bukti dan beberapa saksi," beber Misyal.

Misyal menerangkan bukti-bukti tersebut yakni lampiran-lampiran tangkapan layar (screenshot) percakapan terkait intimidasi dan pemerasan yang dilakukan senior kepada Aulia Risma.

"Mengenai siapa yang bertanggung jawab, kami belum tahu karena korban sudah sudah meninggal. Namun bukti-bukti yang kita punya itu kita serahkan ke kepolisian dan biarkan kepolisian yang bekerja," tambah Misyal.

Kuasa hukum keluarga dokter Risma Aulia itu pun juga mengatakan penyelidikan ini bukan hanya kepada seniornya saja, tetapi kemungkinan pihak Perguruan Tinggi Fakultas Kedokteran (FK) Undip dan institusi terkait, apakah ada unsur pembiaran atau tidak dalam pengembangan penyelidikan kepolisian.

Sebab kuasa hukum korban menilai, jam pelatihan yang diterapkan sangat tidak manusiawi sehingga korban mengalami sakit dan dioperasi dua kali.

"Nggak masuk akal lebih keras dari kemiliteran, jam belajarnya dari jam tiga dini hari sampai jam satu setiap hari hingga jatuh sakit, almarhum dioperasi dua kali terjadi penyempitan syaraf di tulang belakang," katanya.

"Jadi keluarga almarhum sudah sering memberitahu tentang jam kerja dan tentang keluhan-keluhan dari almarhumah tapi tidak ada respon yang positif dari pihak universitas (Undip)," tambah Misyal.

Misyal menjelaskan, awalnya keluarga dokter Aulia Risma enggan melaporkan kasus ini, "Tidak mau melapor Karena mereka (keluarga korban) khawatir dan sering mendapatkan perlakuan intimidasi," bilang Misyal.

Namun berkat dukungan Kemenkes dan jaminan keamanan keluarga dari Kemenkes, sambung Misyal, akhirnya keluarga didampingi kuasa hukum melaporkan kasus ini ke Polda Jateng.

Kuasa hukum korban dan Kemenkes berharap, Polda Jateng dapat bekerja dengan baik dalam mengungkapkan kasus ini, dan jika terbukti, pelaku harus mendapatkan hukuman sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.

Sebelumnya diberitakan, Pelaporan dilakukan oleh pihak keluarga yakni Nuzmatun Malinah, Ibunda mendiang dr Aulia Risma Lestari, adik kandung mendiang yakni Dr Nadia didampingi Tim Inspektorat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dan Kuasa Hukum, Rabu 4 September 2024.

Keluarga melaporkan beberapa senior korban karena berkaitan dengan dugaan kasus perundungan, pemerasan, dan intimidasi. Laporan polisi bernomor LP/B/133/IX/2024/Spkt/Polda Jawa Tengah ini diproses hampir 8 jam.

Pihaknya menyerahkan sejumlah bukti-bukti dalam aduan tersebut di antaranya bukti chatting whatsapp, bukti transfer bank dan bukti lainnya. Sejumlah bukti tersebut untuk menguatkan terkait laporan itu berupa perundungan, intimidasi dan ancaman yang dialami oleh korban.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya