Dewas Minta Pansel KPK Tidak Loloskan Capim yang Langgar Etik, Termasuk Nurul Ghufron?

Anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris
Sumber :
  • VIVA/Zendy Pradana

Jakarta, VIVA – Anggota Dewas KPK, Syamsuddin Haris meminta kepada Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK atau Pansel Capim KPK untuk tidak meloloskan calon pimpinan yang ketahuan melanggar etik.

OTT di Bengkulu, KPK Tangkap 7 Orang

Hal itu dilakukan buntut Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dinyatakan melanggar etik oleh Dewas KPK, karena telah menyalahgunakan wewenangnya sebagai pimpinan komisi.

"Mungkin kami mengimbau kepada pansel pimpinan dan Dewas KPK supaya siapapun yang memiliki cacat etik itu tidak diloloskan sebagai pimpinan maupun Dewas KPK," ujar Syamsuddin Haris di Dewas KPK, Jumat 6 September 2024.

Dharma Pongrekun Ungkap Penyebab Tiga Kali Gagal Jadi Pimpinan KPK

Syamsuddin menuturkan hal itu karena akan berpengaruh pada pemberantasan korupsi di Indonesia nantinya.

"Sebab ini menyangkut masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia," tukasnya.

Alex Marwata Minta Publik Terima Apa Adanya 5 Pimpinan KPK Baru: Awasi Mereka

Sebelumnya diberitakan, Dewan Pengawasan (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjatuhkan bahwa Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron melanggar etik. Dia dinyatakan bersalah menggunakan kewenangan sebagai pimpinan untuk kepentingan pribadi.

"Menyatakan terperiksa Nurul Ghufron menyalahgunakan pengaruh untuk kepentingan pribadi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b Peraturan Dewan Pengawas Nomor 3 Tahun 2021 tentang Penegakan Kode Etik dan Kode Perilaku KPK," ujar Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean di ruang sidang etik, Jumat 6 September 2024.

Tumpak menyebutkan bahwa Nurul Ghufron diberikan sanksi berupa teguran karena melanggar etik sedang.

"Menjatuhkan sanksi sedang kepada Terperiksa berupa teguran tertulis," kata Tumpak.

Ghufron dalam hal ini diminta untuk tidak mengulanginya kembali. Dia juga diminta untuk senantiasa menjaga sikap dan perilaku dengan mentaati dan melaksanakan Kode Etik dan Kode Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi.

"Dan pemotongan penghasilan yang diterima setiap bulan di KPK sebesar 20 % (dua puluh persen) selama 6 (enam) bulan," bebernya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya