5 Fakta Penting Kematian Dokter Aulia Bukan Bunuh Diri, Ini Buktinya!
- Didiet Cordiaz
Semarang, VIVA – Kematian dr. Aulia Risma, seorang peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Universitas Diponegoro (Undip), telah menimbulkan banyak spekulasi. Keluarga dan kuasa hukumnya telah mengungkapkan beberapa fakta penting yang menunjukkan bahwa kematian almarhumah bukanlah bunuh diri. Berikut fakta-fakta yang disampaikain Kuasa hukum keluarga dr Aulia Risma, Misyal Achmad, saat di di Mapolda Jateng, Semarang, Kamis (5/9/2024).
1.Obat-obatan yang Ditemukan di Lokasi Kematian
Saat ditemukan meninggal, di kamar dr. Aulia terdapat dua jenis obat roculax. Obat pertama adalah analgesik yang digunakan untuk meredakan rasa sakit, sementara obat kedua memiliki efek melemaskan tubuh secara keseluruhan dan bisa berpotensi menyebabkan kematian. Yang menarik, obat yang dapat menyebabkan kematian tersebut masih utuh, sementara obat pereda rasa sakit yang seharusnya digunakan dr. Aulia telah habis.
2.Penggunaan Obat untuk Mengatasi Rasa Sakit Akibat Saraf Terjepit
Dokter Aulia menggunakan obat roculax sebagai pereda rasa sakit karena mengalami saraf terjepit setelah jatuh ke selokan dan menjalani dua kali operasi. Obat ini digunakan untuk mengurangi rasa sakit yang dirasakannya, dan bukan untuk tujuan yang lebih berbahaya. Ini menunjukkan bahwa obat tersebut digunakan sesuai dengan kebutuhan medisnya dan bukan untuk tindakan bunuh diri.
3. Tekanan dan Kelelahan Ekstrem dalam Mengikuti Program PPDSÂ Undip
Program Pendidikan Dokter Spesialis yang diikuti dr. Aulia sangat menguras daya tahun tubuh. Dia mengalami kelelahan luar biasa karena jadwal kerjanya yang sangat padat—dari jam 3 pagi hingga 01.30 dini hari. Frekuensi kerja yang ekstrem ini termasuk mengangkat galon, menyiapkan ruang operasi, dan menyiapkan makanan untuk senior, menunjukkan bahwa tekanan kerja yang dialaminya sangat berat dan bisa menjadi faktor signifikan dalam kondisi kesehatannya.
4. Pengaruh Sistem Pendidikan Kedokteran di Indonesia
Menurut kuasa hukum keluarga, kasus ini juga mencerminkan buruknya sistem pendidikan kedokteran di Indonesia. Mereka menyebutkan bahwa sistem pendidikan yang menuntut secara berlebihan, mirip dengan sistem militer, dapat mempengaruhi kesejahteraan peserta didik. Hal ini menunjukkan perlunya reformasi dalam sistem pendidikan kedokteran untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.
5. Dorongan untuk Melaporkan Kasus dan Jaminan Perlindungan Peserta PPDS Lainnya
Kuasa hukum keluarga mendorong agar kasus ini dilaporkan ke pihak berwenang meskipun ada ancaman intimidasi. Mereka juga berusaha menyiapkan skema jaminan perlindungan bagi korban dan mahasiswa lainnya yang berani melapor. Langkah ini bertujuan untuk memastikan bahwa kasus-kasus serupa tidak terabaikan dan pelapor mendapatkan perlindungan yang memadai. (Didiet Cordiaz/Semarang)