Kematian Dokter Aulia, Keluarga Laporkan Senior dan Pimpinan Prodi FK Undip ke Polisi
- Didiet Cordiaz
Semarang, VIVA – Keluarga dokter Aulia, peserta Program Pendidikan Spesialis Dokter (PPDS), yang diduga bunuh diri karena tertekan oleh seniornya, resmi melaporkan kasus tersebut ke Polda Jateng. Laporan ini diajukan oleh ibu almarhum, Nuzmatun Malinah, adik kandungnya, Dr. Nadia, bersama tim Inspektorat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dan kuasa hukum, pada Rabu (4/9/2024).
Dalam laporan tersebut, keluarga melaporkan beberapa senior korban terkait dugaan perundungan, pemerasan, dan intimidasi. Laporan bernomor LP/B/133/IX/2024/Spkt/Polda Jawa Tengah ini diproses selama hampir 8 jam.
“Kami menghabiskan waktu berjam-jam untuk membuat laporan sambil menyerahkan bukti-bukti. Kami akan kembali lagi besok (Kamis, 5 September) untuk memberikan keterangan lebih lanjut,” kata Misyal Achmad, kuasa hukum keluarga almarhum.
Beberapa bukti telah diserahkan, termasuk chatting WhatsApp, bukti transfer bank, dan dokumen lainnya, yang mendukung dugaan perundungan, intimidasi, dan ancaman yang dialami korban.
“Siapa yang dilaporkan? Kami belum menyebutkan nama-namanya. Yang jelas, laporan ini mencakup ancaman, intimidasi, dan pemerasan,” tambah Misyal.
Dia menjelaskan bahwa laporan ini mencakup beberapa senior almarhum, termasuk pimpinan program studi (prodi) jurusan yang diambil korban. “Lebih dari satu orang yang dilaporkan, yaitu semua seniornya. Kami mengadukan mereka karena adanya pembiaran dan kurangnya penanganan dari pihak dosen,” jelasnya.
Menurut kuasa hukum, pembiaran terjadi ketika korban mengeluh tentang jam kerja yang sangat panjang, mulai dari pukul 03.00 hingga 01.30 keesokan harinya. Keluhan tersebut telah disampaikan ke Kepala Program Studi sejak tahun 2022 namun tidak mendapatkan tanggapan serius.
“Keluarga sudah melaporkan masalah ini berulang kali sejak tahun 2022, tetapi tidak ada tanggapan dari pihak kampus,” jelas Misyal.
Keluarga berharap laporan ini dapat memicu korban lainnya untuk berbicara dan berani melapor. Mereka ingin kejadian ini menjadi dorongan bagi banyak orang untuk membuka suara, agar dunia kesehatan tidak dipenuhi dengan praktik-praktik negatif. “Dokter seharusnya memiliki mental yang baik, bukan seperti preman,” tegas Misyal.
Polda Jawa Tengah telah menerima dua laporan terkait kasus ini: satu dari keluarga dan satu lagi dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Meski terpisah, kedua laporan ini saling berkaitan.
Adik almarhum, Dr. Nadia, menyebutkan bahwa semua bukti telah diserahkan kepada polisi dan saat ini mereka masih menunggu proses penyelidikan. “Kami telah menyerahkan semua data. Namun, tidak ada bukti terkait pelecehan seksual,” ujarnya.
Sementara itu, ibunda almarhum, Nuzmatun Malinah, yang datang ke Polda Jateng dengan pakaian serba hijau, enggan diwawancarai karena masih syok setelah kehilangan anak dan suaminya dalam waktu dekat. Kondisi Malinah yang masih terguncang menjadi salah satu alasan laporan baru bisa diajukan beberapa minggu setelah kejadian.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Jawa Tengah, Kombes Artanto, mengatakan bahwa ibunda almarhum datang untuk melaporkan kematian anaknya. Artanto belum dapat memastikan apakah laporan tersebut berkaitan langsung dengan kasus perundungan atau aduan lainnya, namun laporan ini menjadi dasar bagi polisi untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.
“Kami akan menganalisis dan merapatkan hasil laporan tersebut. Kami menerima aduan ini dan akan memprosesnya,” ujar Artanto. (Didiet Cordiaz/Semarang)