Surat 'Romantis' untuk Mahkamah Konstitusi dari Aktivis 98 dan Akademis

Aksi di Depan Gedung MK
Sumber :
  • VIVA.co.id/Natania Longdong

Jakarta, VIVA – Akademis dan para aktivis kompak meneriakkan keresahan mereka terkait Revisi Undang-undang (RUU) Pilkada, yang nantinya akan disahkan oleh Baleg DPR, di depan gedung Mahkamah Konstitusi, pada Kamis, 22 Agustus 2024.

Pembangunan Tak Berjalan jika Kotak Kosong Menang, Menurut Rumah Demokrasi

Mereka berharap bahwa pemerintah, terutama Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR tidak 'serakah' dan menghalalkan segala cara untuk bertahan dalam kekuasaan.

Oleh sebab itu, mereka yang tergerak dalam aksi di depan Gedung MK mengirim surat 'romantis' bagi MK yang tetap menjaga marwahnya di tengah rezim Presiden Jokowi.

Indikator Politik: Elektabilitas Pasangan Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan Unggul di Pilgub Jabar

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK)

Photo :
  • VIVA.co.id/Andrew Tito

Berikut surat untuk Mahkamah Konstitusi RI:

MK Bilang Pembentuk UU Tidak Boleh Sering Ubah Syarat Usia Pejabat Publik

Para Hakim Konstitusi yang mulia. Kami datang ke mari, menemui anda semua, untuk menyampaikan rasa syukur dan terima kasih.

Kurang-lebih setahun yang lalu, anda, anggota Mahkamah Konstitusi, dinistakan. Lembaga ini diperlakukan hanya sebagai juru stempel murahan.

Mahkamah terhormat ini diinfiltrasi untuk membuka jalan bagi sebuah dinasti, di Indonesia yang ditegakkan sebagai sebuah republik dengan darah dan doa.

Bung Karno, yang memelopori kepemimpinan Republik kita, pernah mengatakan, “Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian bahwa kekuasaan seorang Presiden sekali pun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanya kekuasaan rakyat.”

Para Hakim Konstitusi yang terhormat. Hari ini, kami tambah berterima kasih karena anda telah mengembalikan bukan saja martabat Mahkamah, tapi juga hak-hak kami—khususnya hak demokratik dan dalam kompetisi politik.

Telah lama hak-hak rakyat dilipat-lipat. Bertahun-tahun politik diubah hanya jadi permainan para juragan partai. Dalam memilih wakil dan pemimpin, pemilu dan Pilkada praktis tertutup bagi rakyat yang luas dan tidak terbuka bagi mereka yang tak berpartai. Padahal telah jadi rahasia umum, di dalam dan di luar Parlemen, partai-partai telah jadi bunglon—berubah mirip kongsi jual beli: jual beli suara, jual beli dukungan, jual beli integritas.

Telah jadi rahasia umum pula, politik bukan lagi perjuangan untuk perbaikan hidup rakyat. Kini politik adalah medan perdagangan. Semua diringkus untuk dipertukarkan dengan kedudukan dan kekuasaan.

Perilaku jujur disisihkan, karena tidak laku. Perilaku tidak jujur menjadi kelaziman baru. Betapa menyedihkan. Bung HaLa, guru bangsa dan guru kita semua, pernah berkata: 

“Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman, namun tidak jujur itu sulit diperbaiki.”

Elite politik kita, para juragan parpol besar dan kecil, telah mempersulit perbaikan perilaku yang tidak jujur. Apalagi ketika mereka kian berkuasa. Apalagi ketika mereka bersekongkol dalam sebuah kartel politik keculasan. Anda, para hakim yang mulia, berdiri di depan melawan itu. Anda bukan saja mencegah para pembegal demokrasi jadi kekuatan yang menentukan pemilu dan Pilkada. 

Anda mengembalikan demokrasi jadi percaturan para demos, rakyat banyak yang berhak."

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya