Sejumlah Akun Besar di X Ngaku Ditawari 'Serangan Fajar' untuk Adu Domba Aksi di DPR
- ANTARA
Jakarta, VIVA – Sejumlah akun besar di platform media sosial X mengaku mendapatkan tawaran 'serangan fajar' dari pihak-pihak yang tidak dikenal.
Tawaran ini diduga bertujuan untuk memprovokasi atau memecah belah aksi massa yang digelar di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Kamis, 23 Agustus 2024.
Menurut pengakuan beberapa pemilik akun dengan jumlah pengikut yang signifikan, mereka dihubungi melalui pesan langsung dan ditawari sejumlah uang dengan imbalan untuk memposting konten yang bersifat provokatif.
Konten tersebut diharapkan bisa memicu kerusuhan atau setidaknya menimbulkan perpecahan di kalangan demonstran.
“Per malam ini Jawafess dapat brief untuk memecah suara dukungan terhadap aksi besok,” tulis akun @jawafess pada Rabu, 21 Agustus 2024.
Jawa Fess enggan membeberkan besaran yang bisa diterima jika mengiyakan tawaran tersebut. Ia hanya menegaskan bahwa tawaran tersebut sangat besar dan menarik, hamun ia memutuskan untuk menolaknya.
“Nilainya bombastis dan masih dapat voucher gratis ini itu. Kami tolak. 10 tweet bisa bikin pensiun dan menikmati hidup dari bunga bank. Tebak aja lur,” lanjutnya.
Selain Jawa Fess, akun Neo Historia Indonesia dengan 441 ribu pengikut juga mengaku menerima tawaran 'serangan fajar'. Namun, berbeda dengan yang diminta pada akun Jawa Fess, tema yang harus diangkat oleh Neo Historia Indonesia bukan terkait demo, melainkan untuk memicu konflik antara pendukung Anies dan pendukung PDIP di platform X.
“Kalau brief ke kami disuruh adu domba pendukung Pak Anies dan PDIP dengan mengangkat kembali kasus penistaan agama Pak Ahok dan politisasi agama tahun 2017,” tulis akun @neohistoria_id.
Fenomena ini menimbulkan spekulasi bahwa ada pihak-pihak yang sengaja ingin memperkeruh suasana di tengah situasi politik yang sedang memanas.
Diketahui, berbagai elemen masyarakat melakukan aksi demonstrasi di Gedung DPR pada hari ini, Kamis, 22 Agustus 2024.
Aksi ini merupakan respons terhadap sikap pemerintah dan DPR yang enggan sepenuhnya mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perubahan syarat pencalonan kepala daerah dalam revisi UU Pilkada.