Muhammadiyah Sulit Pahami DPR yang Tidak Patuh Putusan MK, Ingatkan Bisa Timbulkan Masalah Meluas

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti
Sumber :
  • Ridho Permana

Jakarta, VIVA – Langkah keputusan DPR RI melalui rapat Badan Legislasi atau Baleg, yang justru bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi atau MK terkait pilkada, bisa menimbulkan masalah kebangsaan yang lebih luas. Hal tersebut dikatakan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Abdul Mu’ti.

Saldi Isra dan Arief Hidayat Dilaporkan ke MKMK atas Dugaan Pelanggaran Etik

Mu’ti mengatakan, langkah DPR RI tersebut sebenarnya membingungkan. Diakuinya, tidak memahami apa yang dilakukan lembaga legislatif tersebut.

“Kami sulit memahami langkah dan keputusan DPR yang bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi. Sebagai lembaga legislatif, DPR seharusnya menjadi teladan dan mematuhi undang-undang,” kata Mu’ti, dalam keterangan persnya, Kamis 22 Agustus 2024.

Dugaan Kecurangan di Pilkada Jayawijaya Dilaporkan ke MK

Putusan MK seperti syarat usia 30 tahun berlaku saat penetapan pasangan calon, oleh DPR RI tidak digunakan. Tetapi mengambil putusan MA yakni usia 30 tahun saat dilantik. Selain itu, ambang batas atau threshold partai politik bisa mengajukan calon di pilkada, juga tidak digunakan. Dimana karena putusan MK itu, seperti partai politik di Pilgub Jakarta banyak yang bisa mengajukan calonnya karena ambang batasnya menjadi 7,5 persen dari sebelumnya 20 persen kursi.

“DPR sebagai lembaga negara yang merepresentasikan kehendak rakyat semestinya menghayati betul dasar-dasar bernegara yang mengedepankan kebenaran, kebaikan, dan kepentingan negara dan rakyat dibanding dengan kepentingan politik kekuasaan semata,” jelasnya.

KPU: Idealnya Kepala Daerah Dilantik Setelah 13 Maret 2025

Lanjut Mu’ti, sebagai pilar legislatif semestinya keputusan dari lembaga yudikatif seperti MK harus dihormati setinggi-tingginya. Tidak semestinya DPR berbeda atau berseberangan, yang justru mengambil keputusan yang tidak sejalan dengan keputusan MK.

“Karenanya DPR tidak semestinya bersebarangan, berbeda, dan menyalahi keputusan MK dalam masalah persyaratan calon  kepala daerah  dan ambang batas pencalonan kepala daerah dengan melakukan pembahasan RUU Pilkada 2024,” jelasnya.

Menurut Mu’ti, langkah yang dilakukan DPR RI tersebut justru menimbulkan masalah terkait tatanan dan keharmonisan bangsa. Bahkan bisa menciptakan persoalan dalam perjalanan pelaksanaan Pilkada 2024 ini. Publik juga akan bereaksi sehingga kondusifitas terganggu.

“Langkah DPR tersebut selain dapat menimbulkan masalah disharmoni dalam hubungan sistem ketatanegaraan, juga akan menjadi benih permasalahan serius dalam Pilkada 2024. Selain itu akan menimbulkan reaksi publik yang dapat mengakibatkan suasana tidak kondusif dalam kehidupan kebangsaan,” jelasnya.

Sikap masyarakat yang massif menyuarakan masalah ini, jangan dianggap sepeleh oleh pemerintah dan DPR. Apalagi sampai masyarakat dari berbagai elemen bersatu untuk menyikapi persoalan hukum yang tidak dipatuhi oleh DPR dan pemerintah. Mu’ti mengingatkan, masalah yang semakin luas bisa ditimbulkan karena persoalan ini.

“DPR dan pemerintah hendaknya sensitif dan tidak menganggap sederhana terhadap arus massa, akademisi, dan mahasiswa yang turun ke jalan menyampaikan aspirasi penegakan hukum  dan perundang-undangan. Perlu sikap arif dan bijaksana agar arus massa tidak menimbulkan masalah kebangsaan dan kenegaraan yang semakin meluas,” jelasnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya