Gugatan Dikabulkan MK, Pemohon: Kampus Jadi Laboratorium Uji Gagasan Calon Kepala Daerah
- vstory
Jakarta, VIVA – Dua mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Sandy Yudha Pratama Hulu dan Stefanie Gloria mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa, 20 Agustus 2024, yang mengabulkan permohonannya terkait pencabutan larangan kampus atau perguruan tinggi sebagai tempat kampanye.
Sandy dan Stefanie merupakan pemohon uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Gugatan tersebut teregistrasi dengan Nomor Perkara 69/PUU-XXII/2024.
Dalam putusan MK yang dimaksud, Pasal 69 huruf i UU Pilkada menjadi selengkapnya berbunyi: "Dalam Kampanye dilarang: menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan, dikecualikan bagi perguruan tinggi yang mendapat izin dari penanggung jawab perguruan tinggi atau sebutan lain dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu"
"Artinya, para calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota dalam Pilkada Serentak 2024 diperbolehkan untuk berkampanye di perguruan tinggi selama telah mendapatkan izin dan tidak membawa atribut kampanye (contoh: baliho, spanduk, poster pasangan calon, pakaian bernuansa dukungan pasangan calon)," kata Sandy Yudha Pratama Hulu dan Stefanie Gloria dalam keterangan persnya di Jakarta, Rabu, 21 Agustus 2024.
Dalam bagian pertimbangan hukum putusan, Mahkamah memberikan penekanan bahwa secara konstitusional, konstruksi norma Pasal 22E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tidak hanya sekadar dibaca bahwa pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil presiden, dan DPRD. Pemilihan umum juga harus dimaknai termasuk di dalamnya pemilihan kepala Daerah.
Pemaknaan demikian menghendaki harmonisasi atau sinkronisasi pengaturan atau hukum pemilihan umum untuk hal-hal yang memiliki kesamaan antara pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.
Hal ini pun dikuatkan melalui beberapa putusan MK sebelumnya, yakni Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 dan 85/PUU-XX/2022.
Lebih lanjut, Mahkamah menyatakan bahwa pengecualian terhadap larangan kampanye di perguruan tinggi dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada civitas akademika untuk menjadi salah satu lokomotif penyelenggaraan kampanye pemilihan umum untuk mendalami visi, misi, dan program kerja yang ditawarkan oleh masing-masing calon.
"Selain tempat berkumpulnya sebagian dari pemilih pemula dan pemilih kritis, mengecualikan larangan kampanye di perguruan tinggi yang berarti membuka kesempatan dilakukan kampanye dialogis secara lebih konstruktif pada akhirnya akan bermuara pada kematangan berpolitik bagi masyarakat," ujarnya
Menurutnya, dalam memutus perkara tersebut Majelis Hakim Konstitusi tidak memiliki keraguan sama sekali untuk mengabulkan keseluruhan permohonan Para Pemohon. Hal ini menurut Mahkamah disebabkan pendirian Mahkamah yang tidak lagi membedakan rezim pemilihan umum dengan rezim pemilihan kepala daerah.
Perihal ini, substansi yang dimohonkan para Pemohon pada pokoknya sama dengan substansi Perkara Nomor 65/PUU-XXI/2023 tentang pemberian izin kampanye di tempat pendidikan, yang dipertegas hanya untuk perguruan tinggi melalui Putusan Nomor 128/PUU-XXI/2023 dalam rezim UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Karenanya, menurut Mahkamah pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XXI/2023 secara mutatis mutandis berlaku terhadap permohonan Perkara No.69/PUU-XXII/2024. Selain itu, pemberlakuan secara mutatis mutandis tidak dapat dilepaskan dari keberlakuan prinsip erga omnes.
Dalam hal ini, karena norma larangan kampanye di kampus atau perguruan tinggi atau sebutan lain dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu telah dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat oleh Mahkamah, maka terhadap norma serupa dan sejenis yang terdapat dalam undang-undang lain semestinya pula diberikan makna yang sama.
Mahkamah Konstitusi berpendapat, sebagai sistem hukum yang berlaku dalam pemilihan umum yang sama-sama didasarkan kepada konstruksi hukum dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945, membiarkan norma yang saling bertentangan tetap eksis/berlaku, dalam batas penalaran yang wajar dapat merusak kepastian hukum penyelenggaraan pemilihan umum.
"Artinya, meskipun ketentuan tersebut diatur dalam dua undang-undang yang berbeda, namun karena tidak terdapat lagi perbedaan rezim pemilihan maka untuk kepentingan kepastian hukum dan penguatan prinsip erga omnes, larangan kampanye pada “tempat pendidikan” dalam pemilihan kepala daerah sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 69 huruf i UU Pilkada harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai mendapat izin dari penanggung jawab perguruan tinggi/sebutan lain dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu," ungkapnya
Sandy dan Stefanie berharap putusan MK ini dapat menjadi pintu awal untuk kembali menyemai iklim demokrasi pada perhelatan Pilkada Serentak 2024 yang akan datang. Hal ini berusaha dilakukan dengan memberikan ruang bagi aktor-aktor akademik untuk kembali memainkan peran sentral dalam menguji gagasan para calon kepala daerah.
"Pada akhirnya, gagasan para calon kepala daerah yang berbasis data, kajian, dan kebenaran-lah yang benar-benar diperlukan masyarakat untuk membangun Indonesia yang lebih baik," tutupnya