Ini Kunci Agar Produk Jadi Plastik Dalam Negeri Mampu Bersaing dengan Impor

Ilustrasi mesin di industri plastik.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin

Jakarta, VIVA – Untuk bersaing dengan produk jadi plastik impor, industri hilir harus juga mampu memproduksi dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan harga produksi jadi impor. Kalau tidak, impor produksi jadi, baik secara legal maupun ilegal tetap akan membanjiri pasar dalam negeri. 

Susu Ikan Dikaji Jadi Alternatif Program Susu Gratis Prabowo-Gibran

Kunci untuk bisa memproduksi produk jadi yang berdaya saing tinggi adalah bahan baku plastik di dalam negeri harus lebih murah dibandingkan dengan harga Bahan Baku Plastik (BBP) di negara pesaing. 

Juru bicara Forum Lintas Asosiasi Industri Plastik Hilir Indonesia (FLAIPHI) yang beranggotakan ROTOKEMAS, APHINDO, GIATPI, ABOFI, Henry Chevalier mengatakan, pemerintah tidak perlu lagi memberikan proteksi karena hanya akan berdampak pada mahalnya bahan baku plastik di dalam negeri.

Waralaba Tumbuh Subur di Indonesia, Bingxue Bisa Buka 200 Outlet kurang dari Setahun

Pameran Industri Plastik, Kemasan dan Cetak

Photo :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin

Pembuat kebijakan dan siapapun yang mengusulkannya jangan lupa, industri hulu sampai saat ini masih mendapatkan perlindungan dari pemerintah sejak tahun 2009 yaitu berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 19 tahun 2009 yang di dalamnya mengatur bea masuk terhadap Bahan Baku Plastik yang diimpor dari negara non-FTA dengan tarif bea masuk antara 10 sampai 15 persen.

Percepat Transisi Sirkular Ekonomi, PCX Market Sudah Alihkan Lebih dari 100 Juta Kg Limbah Plastik

Menurut Henry Chevalier, terbitnya Permendag No. 36/2023 khusus untuk 12 HS Code ini yang sudah direvisi sebanyak 3 kali yaitu menjadi Permendag No. 3 Tahun 2024, Permendag No. 7 Tahun 2024 dan Permendag No. 8 Tahun 2024 sudah cukup baik. 

Hal ini mengingat karena tujuan utamanya adalah memberi perlindungan kepada industri barang jadi plastik dalam negeri. Sesuai dengan semangat pemerintah yaitu Hilirisasi. 

"Jika pemerintah ingin melakukan hilirisasi, syarat utamanya adalah ketersediaan bahan baku yang akan diolah/diproses oleh Industri hilir dengan harga yang murah atau setidaknya sama dengan harga dari negara pesaing,” ungkap Henry.

Henry juga menambahkan bahwa perlindungan terhadap produk jadi plastik akan meningkatkan utilitas.

"Dengan perlindungan terhadap produk jadi, khususnya dalam hal ini adalah produk jadi plastik, maka secara otomatis akan meningkatkan utilisasi industri hilir plastik. Kalau utilisasi industri plastik hilir meningkat, maka akan meningkatkan kebutuhan bahan baku plastik yang seharusnya menjadi berita baik untuk industri hulu," lanjut Henry.

Sementara itu, menurut Totok Wobowo dari GIATPI, tinggal industri hulunya apakah mampu memanfaatkan sinyal positif ini dengan memberikan harga yang bersaing dengan harga BBP impor atau tidak.

"Kalau ternyata harga yang ditawarkan lebih mahal dibanding dengan harga BBP impor, jangan disalahkan kalau industri hilir plastik akan menggunakan BBP impor," jelas Totok.

Untuk bersaing dengan produk jadi plastik impor, lanjut Totok, industri hilir harus mampu memproduksi dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan harga produksi jadi impor.

Kalau tidak, impor produksi jadi, baik secara legal maupun ilegal tetap akan membanjiri pasar dalam negeri. Agar industri hilir yang mempekerjakan tujuh ratus ribu karyawan bisa bersaing dengan produk jadi impor diperlukan pertama, industri hulu yang kuat secara modal, technology dan cost efficiency. 

Kalau sebaliknya maka akan terjadi deindustrialisasi dan menimbulkan pengangguran masal.

Kedua, kalau pemerintah akan memberikan insentif agar hulu juga berkembang sebaiknya berupa incentive yang non tarif. Contohnya : pengurangan pajak untuk periode tertentu tapi harus diimbangi dengan pembaruan teknologinya.

Untuk meningkatan daya saing produk jadi, saran Totok Wibowo (GIATPI) yang harus diperbaiki lebih lanjut dari peraturan pengaturan impor saat ini adalah, khusus untuk produk jadi plastik yang terdiri dari sekitar 140 HS Code adalah ditingkatkan dari sekadar LS dan Post Border menjadi LS, PI dan Border. Tidak kalah pentingnya lagi adalah pengawasan secara ketat terhadap pemberian ijin impornya dan ketepatan HS Code yang digunakan karena banyak impor suatu produk jadi plastik yang tidak sesuai dengan HS Codenya. 

Misalnya ada produk barang jadi dari tenun plastik yang seharusnya masuk ke HS Code 6305 atau 6306 karena cara prduksinya dengan proses tenun, tetapi dalam praktek impornya menggunakan HS Code 3921 atau 3923 dengan tujuan utama untuk menghindari Lartas yang ada di HS Code 6305 atau 6306. Ini harus ditertibkan agar monitoringnya bisa dilakukan dengan tepat.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya