PP Kesehatan Dinilai Sebagai Ancaman Oleh Jutaan Pekerja di Sektor Tembakau
- Dokumentasi Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan.
Jakarta, VIVA – Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang telah disahkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai akan membawa dampak yang merugikan bagi Industri Hasil Tembakau (IHT) dan petani tembakau. Kini, protes penolakan atas PP Kesehatan semakin meluas.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Tengah, Wisnu Brata, menilai bahwa penerbitan peraturan ini akan mengancam keberlanjutan IHT. Pasalnya, selama ini pelaku industri telah mendapatkan berbagai keterbatasan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan.
“Kalau begini, akan tercipta pengangguran yang semakin banyak,” ujar Wisnu dalam rilis yang diterima VIVA Sabtu, 3 Agustus 2024 sore.
Jika menilik apa yang diamanatkan dalam PP 28 tahun 2024, Wisnu menilai sektor tembakau akan menerima pembatasan yang lebih besar lagi. Misalnya saja, larangan penjualan rokok eceran maupun pelarangan penjualan dalam jarak 200 m dari institusi pendidikan. Menurut dia, aturan ini jelas akan menghantam rantai pendapatan di sektor tembakau, terutama bagi para pedagang kecil karena akan mengalami penurunan pendapatan.
“Jika pedagang mengalami kerugian pasti dampaknya akan ke petani juga. Kalau penjualan turun, maka penyerapan tembakaunya juga turun. Industri terdampak, akhirnya terjadi PHK massal,” ucap Wisnu.
Wisnu menilai bahwa disahkannya PP ini menjadi bentuk ketidak-bijaksanaan pemerintah. Ia menilai pemerintah salah membaca strategi karena selalu mengambil perspektif bahwa Indonesia menjadi negara pasar dari produk tembakau, bukan penghasil.
Padahal, Wisnu menyatakan bahwa pemerintah sudah sepatutnya memposisikan negara sebagai penghasil produk tembakau. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan rantai tembakau di Indonesia mulai dari hulu sampai hilir. Ia juga mengatakan bahwa luputnya pemerintah ini berimbas pada penyusunan kebijakan yang hanya berparadigma kepada pasar atau konsumen. Ketika sektor penghasil ini luput diakomodir, maka imbasnya akan menyasar sektor industri.
“Kalau IHT semakin tertekan, maka akan tercipta pengangguran yang semakin banyak,” tegasnya.
Belum lagi, Wisnu juga menyoroti tertutupnya proses penyusunan aturan tersebut yang tidak melibatkan para pemangku kepentingan di IHT. Wisnu menilai, beberapa masukan yang disampaikan industri maupun petani perihal aturan ini pun tidak pernah diakomodir.
“Ini bentuk arogansi pemerintah yang tidak menerima aspirasi sektor tembakau, terutama dari para petani dan buruh, untuk kepentingan satu pihak yaitu pengendalian rokok. Padahal di atas kesehatan, ada faktor kesejahteraan,” kata dia.
Dia beranggapan di balik penyusunan aturan ini ada kepentingan yang sangat kuat yang mempengaruhi pemerintah untuk mematikan IHT dari hulu ke hilir. Yang pasti, pihaknya akan mempertimbangkan langkah selanjutnya sebagai bentuk penolakan dari diresmikannya
“Karena aturan ini cacat proses. Kami ini cuma diundang sekali saja dan pada pembahasan selanjutnya kami tidak pernah diundang lagi,” pungkasnya.