Komisi III Soroti Independensi Pansel Capim KPK , Curiga Tersandera Istana

Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDIP, I Wayan Sudirta
Sumber :
  • Istimewa

Jakarta, VIVA - Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta menyoroti isu adanya indikasi intervensi dalam proses seleksi calon Pimpinan (capim) KPK yang sedang dilakukan oleh Panita Seleksi (Pansel) Capim KPK tahun 2024. Menurut dia, masyarakat harus percaya dengan Tim Pansel Capim KPK yang dibentuk oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Komjen Setyo Budiyanto Terpilih jadi Ketua KPK, Yudi Purnomo: Ada Tugas Berat Memulihkan Kepercayaan Publik

Diketahui, isu yang beredar terkait proses pemilihan Capim KPK setelah adanya dugaan atau anggapan tentang beberapa calon yang merupakan pejabat negara mundur karena tidak ada ‘rekomendasi’ istana, atau merasa tidak akan sanggup bersaing dengan para calon ‘titipan’ istana (Presiden RI). 

“Meski begitu, beberapa pihak tetap positif dan mempercayai kerja Pansel bentukan Presiden tersebut, walaupun banyak juga yang meragukannya dengan menyebut Pansel seperti tersandera,” kata Wayan pada Jumat, 2 Agustus 2024.

DPR Telah Pilih Lima Dewas KPK Periode 2024-2029, Tumpak Hatorangan: Mudah-mudahan Lebih Baik

Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDIP, I Wayan Sudirta

Photo :
  • Istimewa

Wayan menjelaskan KPK merupakan alat negara untuk melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia, seperti Undang-Undang KPK dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Adapun, peran dan fungsi KPK untuk menjamin keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan melalui berbagai tugas dan kewenangannya di bidang pemberantasan korupsi. 

Jadi Ketua KPK, Komjen Setyo Budiyanto Bakal Segera Lakukan Ini

“Melalui UU, KPK dinilai juga memiliki kewenangan extra-ordinary karena juga memiliki kewenangan untuk koordinasi dan supervisi disamping memberi penguatan kepada aparat penegak hukum (Polri dan Kejaksaan),” jelas Anggota Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) ini.

Seiring berjalannya waktu dari lahirnya tahun 2002 hingga 202, Wayan menyebut KPK telah melalui berbagai pengalaman dalam pelaksanaan program pemberantasan korupsi. KPK telah berhasil mengungkap berbagai kasus korupsi besar yang melibatkan sejumlah petinggi negara, termasuk petinggi politik dan pengusaha besar. 

Namun dalam perjalanannya, kata dia, tidak sedikit juga KPK mengalami pelemahan atau perlawanan, dimulai dari kasus “suro vs boyo”, skandal etik Pimpinan KPK, hingga terakhir kasus pemerasan. KPK juga silih berganti mengalami pasang surut, tidak hanya dari kendala dalam pengungkapan kasus korupsi, namun juga prahara internal KPK. 

“Semua fenomena ini kemudian memberikan citra bahwa KPK mudah dijadikan alat politisasi,” jelas dia.

Memang, lanjut Wayan, bahwa isu Presiden berupaya melakukan pelemahan terhadap KPK secara perlahan tapi pasti itu terus ada dan beredar sejak dulu. Karena, kata dia, KPK dianggap menjadi hambatan dengan upaya pembangunan dan pemulihan ekonomi. Sehingga, Wayan menyebut Presiden diduga menggunakan kekuatan dan kekuasaannya hingga berupaya melibatkan DPR untuk menampilkan legalisme otokrasi.

Misalnya kata Wayan, kajian secara legal terjadi setelah putusan MK yang menyatakan bahwa status ketatanegaraan KPK di cabang eksekutif. Lagi-lagi, publik menduga adanya intervensi untuk melemahkan KPK.

“Isu semacam ini sesungguhnya terus ada dan beredar dari dulu hingga saat ini, bahwa KPK menjadi alat politik atau kekuasaan. Kekuasaan Pemerintah diduga menggunakan aparat atau alat negara seperti Polri, Kejaksaan, dan KPK untuk melanggengkan atau mengamankan kekuasaannya. Banyak pihak mempertanyakan independensi KPK,” ucapnya.

Kata Wayan, proses seleksi Capim KPK harus berdasarkan prinsip good governance dan jaminan profesionalisme, akuntabilitas, dan integritas agar menghasilkan seorang pemimpin yang baik. Makanya, mulai dari jaminan independensi dan netralitas Pansel Capim KPK hingga proses rekrutmennya harus profesional dan transparan. 

“Dalam aturannya, proses ini dilakukan berdasarkan peraturan dan pedoman untuk menjaga netralitas Pansel hingga penyerahannya pada Presiden,” katanya.

Namun, Wayan mengatakan yang menjadi dilema ialah faktor subyektivitas dan tujuan dari proses itu sendiri. Kata dia, tidak dapat dipungkiri bahwa seleksi ini bermuara pada kewenangan Presiden untuk mengajukan nama-nama calon Pimpinan KPK kepada DPR. Untuk menghindari kesewenangan atau kekuasaan mutlak, maka dalam aturan bahwa DPR menjadi penentu akhirnya, mengingat fungsi legislatif DPR dalam melakukan pengawasan terhadap eksekutif. 

“Presiden akan mengajukan nama-nama tersebut pada DPR setelah mendapat rekomendasi dari Pansel. Jika ada opini bahwa pansel tersandera dengan titipan istana atau dalam hal ini Presiden, fenomena ini tentu wajar dan relatif mungkin dapat terjadi, mengingat penentu akhir adalah Presiden dan berkaitan dengan pelaksanaan kekuasaan,” kata Wayan.

KPK, kata dia, merupakan aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan superbody dalam menentukan arah kebijakan pelaksanaan pemberantasan korupsi yang sangat strategis. KPK dan penegakan hukum pada prinsipnya memiliki celah yang dapat dijadikan alat untuk menyingkirkan lawan politik. 

“Isu independensi dan netralitas selalu dikaitkan dengan kekuasaan dan politis. Tidak ada jaminan, sekalipun dalam negara demokrasi seperti di Indonesia yang menganut demokrasi konstitusional dan pembagian kekuasaan, permasalahan penggunaan sistem penegakan hukum untuk pengamanan bukan hal yang tidak mungkin terjadi,” katanya lagi.

Oleh sebab itu, Wayan mengatakan saat ini publik menantikan hasil dari Pansel Capim KPK, dengan harapan dapat mengawal proses pemilihan. Syaratnya, tentu Pansel yang dibentuk Pemerintah ini harus bekerja tanpa tekanan, memastikan tidak adanya conflict of interest, dan melakukan proses seleksi yang ketat dan terbuka. 

“Alhasil nantinya, publik berharap dapat menilai rekam jejak para capim KPK, kualitas, kapasitas, serta visi dan misinya,” pungkasnya.

Sebelumnya diberitakan, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno menegaskan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) tidak akan cawe-cawe dalam proses penyeleksian calon pimpinan (Capim) dan calon dewan pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Oh enggak, KPK urusan pansel lah," kata Pratikno di Kantor Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta Pusat pada Kamis, 1 Agustus 2024.

Kata Pratikno, setelah proses seleksi selesai, pansel akan melaporkan kepada Presiden Jokowi. Kemudian, dilanjutkan dengan pembuatan surat untuk diteruskan ke DPR RI dan disahkan. 

"Kemudian nanti dilaporkan ke presiden,  presiden menulis surpres kepada DPR, surat presiden kepada DPR seperti biasa kemudian pemilihan kan dilakukan DPR dari calon-calon yang sudah dipilih oleh pansel," ungkapnya.

Dia pun kembali memastikan, Jokowi tidak akan mengintervensi penyeleksian capim dan calon dewan pengawas lembaga anti-rasuah tersebut. "Oh namanya itu tugas pansel kok," tutur dia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya