Kisah Sukses Transmigran Lewat Pertanian Organik, Kini Menolak Bansos
- Dok Pertamina
Muara Enim, VIVA – Kegigihannya dalam menjaga dan melestarikan lingkungan membuahkan hasil. Alam-lingkungan yang memberinya penghidupan dijaga dengan baik. Dirawat dengan tekun, penuh kesabaran. Hingga akhirnya, ia mendapatkan lebih dari lingkungannya.
Khairil Anam, seorang transmigran yang gigih dalam memperjuangkan lingkungan. Ia merupakan seorang petani yang berhasil mengembangkan pola pertanian organik dan Trichoderma. Budidaya jeruk telah mengangkat derajat ekonomi keluarganya.
Budidaya jeruk sudah menjadi kemampuan bertani turun temurun dari masyarakat Bali tepatnya di kawasan desa-desa Singaraja ke arah timur. Sedangkan Singaraja ke bawah, kebanyakan bertanam anggur.
Pada tahun 1987, transmigrasi bedol desa membawa sanak famili Khairil ke Desa Air Talas, Kecamatan Rambang Niru, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Kawasan ini merupakan Ring 3 PT. Pertamina Hulu Rokan Zona 4 Limau Field.
Para petani ini dibekali lahan 2 hektar untuk berkebun sawit. Banyak dari para transmigran ini sukses meski dengan perjuangan cukup panjang ketika lahan sawit belum menghasilkan dan akhirnya menghasilkan.
"Tahun 2000 saya ikut paman saya untuk transmigrasi karena kebun sawitnya sukses. Waktu itu di Bali juga sedang sulit ekonomi," kata Khairil.
Sama seperti petani lainnya, ia awalnya juga menanam sawit. Selain itu, para petani asal Bali ini kembali menekuni kemampuan turun temurun yaitu budidaya jeruk untuk menambah penghasilan.
Panen sawit memang sepanjang tahun, namun puncak panen hanya 4 bulan saja dengan hasil 2,5 ton-3 ton/hektar. Di luar 4 bulan, hanya mendapat 200-300kg sehingga tak mencukupi kebutuhan hidup.
Oleh sebab itu, transmigram menanam jeruk. Para petani memanfaatkan lahan tidur atau lahan-lahan yang tidak ditanami sawit. Mereka rata-rata memiliki 500-600 batang jeruk.
Air Talas menjadi pemasok jeruk untuk kawasan Sumatera Selatan khususnya, hingga menyebar ke beberapa kota.
Bibitnya dibawa langsung dari Bali. Namun petaka itu datang. CVPD menyerang. Gara-gara ada yang membeli bibit dari penjual yang ternyata sudah membawa virus. Penyakit ini cepat menyebar.
Khairil mulai menanam jeruk pada tahun 2003. 3 tahun setelah ia menetap di Air Talas. Semua berjalan lancar. 600 batang tanaman jeruk sudah siap dipanen. Pedagang sudah menawar Rp 76 juta sejak 15 hari sebelum panen. Tiba-tiba semua tanaman menguning.
Jeruk yang sebentar lagi siap petik, berjatuhan. CVPD merenggut mimpi panen itu sehingga tak bersisa. "Saya sampai kehilangan arah rasanya," kenang Khairil.
Selama 9-10 tahun, petani Air Talas tidak lagi menanam jeruk untuk memutus rantai penyebaran virus ini. Pasokan jeruk pun terhenti.
Tahun 2012, petani mulai menanam kembali dan bisa panen umur 3-4 tahun. Kejayaan jeruk pun kembali. Namun tidak berlangsung lama. Tahun 2017, petaka itu kembali menghancurkan lahan jeruk petani Air Talas, termasuk milik Khairil. Kali ini penyebabnya jamur upas.
Jamur bisa dikendalikan dengan fungisida. Penggunakan pestisida yang masif pun dimulai. Dari sinilah, Khairil mulai memikirkan tentang agen pengendali hayati yaitu Trichoderma.
Tanah Rusak
Ia belajar otodidak dan banyak membaca dan bertapa pada petugas pertanian. Juga beberapa akademisi dari universitas yang bisa ia temui.
"Kebiasaan kita dengan anorganik, sebenarnya karena waktu itu harga pupuk agak murah. Pembelian pupuknya pun sangat mudah, kita enggak harus ke pasar tapi orang menjajakan," kata Khairil.
Kemudahan itu memberi dampak buruk pada tanah. Dari hasil penelitiannya secara otodidak pula, 65%-70% tanah rusak. Dari kasat mata ia bisa melihat, tanah menjadi keras, miskin unsur hara. Jika ingin menghasilkan, harus dipupuk lebih banyak lagi.
Menurut penuturan Khairil, dosis pupuk satu hektar sekitar 200 sampai 250 kg, aplikasi pupuk bisa sampai 600kg-700kg untuk meningkatkan hasil panen.
Memang, hasil panen menjadi sangat tinggi namun menyisakan kerusakan tanah yang cukup parah. Dari sanalah ia mulai mencoba menguatkan struktur tanah dan mengendalikan jamur upas dengan Trichoderma.
Langkah awalnya pun tak terlalu mulus. Saat mencoba pertama, banyak yang kontaminasi. Bukan Trichoderma yang tumbuh, tapi cendawan lain. Sampai akhirnya ia berhasil dan mengaplikasikannya di ladang sendiri.
Panen Jeruk Sepanjang Tahun
Media yang ia gunakan hanya nasi, setelah dibiarkan selama 10 hari, lama kelamaan akan tumbuh jamur berwarn biru. Inilah yang disebut Trichoderma F1. Dari biang ini, dibiakkan lebih banyak lagi dengan air cucian beras (10 liter), terigu (200gr), molase (100ml) atau bisa menggunakan gula merah yang diiris kecil-kecil sebagai sumber glukosa.
Jamur membutuhkan glukosa untuk nutrisinya. Larutan ini dibiarkan hingga 3 bulan, baru disemprotkan. Pengaplikasiannya untuk mengendalikan jamur upas, disemprotkan seminggu dua kali.
Selain menggunakan agen hayati Trichoderma, Khairil juga menggunakan pupuk kandang dari kotoran kambing untuk memperbaiki struktur tanah. Pupuk kadang ini disemprot dulu dengan EM (EM4) agar menjadi pupuk yang siap pakai.
"Saya pakai pupuk organik dan agen hayati ini resikonya adalah pertumbuhan tanaman tidak cepat. Kalau pakai pupuk anorganik, kan cepat menunjukkan hasil," kata Khairil.
Oleh sebab itu, para petani yang bergabung di kelompok pertanian organik ini kembali beralih ke pupuk anorganik satu demi satu. Dari 8 orang anggota yang mencoba, akhirnya menyerah satu demi satu.
"Saya sempat goyah juga sih tuh di tahun 2018 saya udah ya nih," kenang Khairil.
Ia tak menyerah. Hal yang menguatkan ketika ia mencontoh ekosistem hutan. Di hutan, semua bisa tumbuh dengan baik, tidak perlu pupuk. Ia sudah memperlakukan tanah dengan baik, maka ia yakin tanah akan memberikan yang terbaik.
Rupanya, kesabaran membuahkan hasil. Setelah 2 tahun aplikasi, kebun jeruknya mulai menghasilkan 400kg. Sampai tanaman umur 3 tahun, bisa menghasilkan 2,5 ton/2 hektar.
Pada tahun 2019, hasil panen pun stabil. Tak hanya itu, panen jeruk pun berjalan sepanjang tahun. Para petani yang menggunakan pupuk anorganik dan pestisida hanya bisa panen sekali, hasilnya Rp 35juta-Rp 60 juta sekali panen.
Sementara Khairil bisa panen setiap 3 bulan selama satu tahun. Jadi ketika orang lain tidak punya jeruk yang dipanen, Khairil tetap bisa panen. Harga jualnya lebih tinggi karena bukan musim panen. "Selain itu, rasa jeruknya pun lebih segar, lebih manis," katanya.
Bila dilihat, struktur tanah pun lebih gembur dengan pertanian organik. Ia mengatakan, bukan 100% organik, tapi baru 98% organik. Beberapa petani masih menggunakan pupuk kimia sintetis, namun ada pengurangan dari waktu ke waktu.
Menolak Bansos
Kini di samping rumahnya, ada sebuah gubuk kecil yang dibangun oleh PT. Pertamina Hulu Rokan Zona 4 Limau Field yang biasa disebut Pusat Studi Trichoderma.
Di sini, puluhan botol cairan agen hayati dan pupuk cair organik diproduksi dan disimpan. Di sini juga menjadi tempat untuk mengadakan pertemuan dan belajar bersama bagi para petani yang ingin mengubah sistem pertaniannya menjadi sistem organik. Khairil senang membagikan ilmunya.
Sementara itu, di samping rumahnya, hamparan kebun jeruk berbuah sepanjang tahun. Tamu yang datang bisa menikmati dan memetik langsung dari kebun.
Bulan Juni mendatang, kebun Khairil dibuka menjadi wahana petik buah jeruk.
Dari pertanian organik yang bisa memasok jeruk sepanjang tahun, ia bisa membuka usaha wisata petik buah. Ia mendapat pemasukan baru yang berharap bisa dicontoh oleh petani yang lain.
Di samping kebun, ada beberapa ekor kambing sebagai tabungan sekaligus penghasil pupuk. Kambing-kambing itu pun bertambah satu demi satu.
"Pertamina masuk ke Desa Air Talas tahun 2018. Saat itu sebenarnya untuk pembuatan embung," kata Khairil.
Pertamina memfasilitasi pembangunan embung sebab di kawasan ini terjadi kekeringan bila musim kemarau. Ada beberapa embung dibangun namun sempat terhenti saat Covid.
Sebelum program embung, sejak tahun 2016 Pertamina sudah membantu petani jeruk di Air Talas dengan memberikan bantuan bibit jeruk yang tahan CVPD (berlabel bebas hama), serta memberikan peningkatan kapasitas yaitu pelatihan okulasi tanaman agar masyarakat mampu memproduksi sendiri.
Bibit yang bersertifikat dan unggul sehingga membantu petani dalam budidaya. Mengingat selama ini masyarakat masih membeli bibit jeruk langsung dari tanah Dewata sehingga tidak efisien.
Selanjutnya, tahun 2023, ketika melihat kegigihan Khairil, Pertamina pun memberikan dukungan untuk Kelompok Tani Tunas Hijau dalam pengembangan pertanian organik.
"Kami memberi bantuan karena sudah ada inisiatif, tidak dari nol. Sifatnya hanya fasilitator," kata Dedo Kevin Prayoga, Community Development Officer PT. Pertamina Hulu Rokan Zona 4 Limau Field.
Dukungan ini menjadi akselerator untuk pengembangan, aktor utama tetap masyarakat sehingga masyarakat menjadi kreatif dan mandiri.
Menurut Dedo, Pertamina memberikan dukungan berupa sosialisasi hingga pembetukan Satgas Pengendalian Hama Terpadu. Juga dalam hal kelembagaan, menfasilitasi pembentukan Kelompok Tunas Hijau yang beranggotakan para petani jeruk.
Kini, menurut perhitungan Khairil, pertumbuhan para petani organik selama setahun sudah mencapai 12 orang dari Khairil sendirian yang bertahan. Dari 12 orang tersebut, beberapa orang pun sudah ada yang menjadi trainer dan menjadi produsen pengendali hayati. Bila dihitung luas kebun semi organik mencapai 28-30 hektar.
Hal yang menggembirakan, Khairil pun sudah berani menolak Bansos untuknya sebab ia merasa sudah tidak berhak lagi menerima Bansos. Ia berharap bisa dialihkan pada orang yang lebih membutuhkan.
"Di Air Talas ini angka penerima Bansos tinggi, angka kemiskinan tinggi. Saya berharap pada teman-teman Pertamina, tahun 2024 ini, untuk lebih banyak membuat demplot pertanian organik. Harapannya, bisa menurunkan angka penerima bansos," harap Khairil.
Dia sangat percaya bahwa desanya sebenarnya sangat kaya, asal tahu cara mengolah tanahnya.