Wamenaker Afriansyah Noor Imbau Stakeholder Ketenagakerjaan Berinovasi Hapus Praktik Pekerja Anak

Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Afriansyah Noor
Sumber :
  • Kemnaker

VIVA – Ada beberapa penyebab pekerja anak di Indonesia terus terjadi, kemiskinan biasanya menjadi penyebab utama. Banyak anak terpaksa bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, terutama ketika orang tua mereka tidak memiliki pekerjaan yang cukup untuk mendukung hidup sehari-hari.

Gibran Minta Menpar Gelar Event hingga Convention di Lokasi Pasca-Bencana Guna Pulihkan Ekonomi Setempat

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) kembali mengimbau pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha, serikat pekerja dan organisasi masyarakat sipil terus bekerja sama dan melakukan inovasi, supaya menghapus praktik pekerja anak di Indonesia. Imbauan ini sejalan dengan Peta Jalan (Roadmap) Indonesia Bebas Pekerja Anak Lanjutan yang diluncurkan sepekan lalu oleh Menaker Ida Fauziyah.

"Roadmap tersebut merupakan acuan bagi seluruh stakeholder Ketenagakerjaan merupakan acuan bagi semua stakeholder dalam penyusunan program-program percepatan penghapusan Pekerja Anak dan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak (BPTA) menuju Indonesia Emas tanpa Pekerja Anak," ujar Wakil Menteri Ketenagakerjaan Afriansyah Noor saat membuka peringatan Hari Anak Nasional di kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Selasa (30/7/2024).

Tolak PPN Naik Jadi 12 Persen, YLKI Beberkan Ketidakadilan dalam Pemungutan Pajak

Afriansyah Noor menjelaskan dalam mewujudkan tumbuh kembang anak yang optimal, sudah selayaknya mereka harus diberi kesempatan untuk menikmati dan mendapatkan pemenuhan atas hak dasar mereka sebagai anak. Antara lain untuk kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta terlindungi dari kekerasan.

Israel Tahan 270 Anak Palestina dengan Kondisi Memprihatinkan, Menurut Komisi Urusan Tahanan

Jaminan hak dasar tersebut sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam UUD NRI 1945 pasal 28B ayat (2) yang berbunyi: 'Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi'.

Afriansyah Noor menamahkan selain kekerasan fisik dan kekerasan mental, kekerasan atau eksploitasi ekonomi juga sangat rentan terjadi pada anak. Anak-anak yang  tereksploitasi secara ekonomi ini sering kita sebut dengan pekerja anak.

"Keberadaan pekerja anak ini tidak bisa kita biarkan, khususnya mereka yang memasuki dunia kerja dalam usia yang masih sangat muda dan berada pada lingkungan kerja yang berbahaya atau BPTA," ujarnya.

Ditegaskan Afriansyah, komitmen Pemerintah Indonesia dalam menghapus pekerja anak ini dibuktikan melalui diratifikasinya Konvensi ILO No. 138 mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja dan Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.

"Komitmen tersebut juga diperkuat dengan mengadopsi substansi kedua Konvensi ILO tersebut ke dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan," katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya