Pakar Hukum Soroti Hakim yang Abaikan Bukti Visum-CCTV di Kasus Ronald Tannur
- VIVA.co.id/Nur Faishal (Surabaya)
Surabaya – Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang membebaskan terdakwa Gregorius Ronald Tannur dalam perkara dugaan pembunuhan terhadap Dini Sera Afriyanti jadi sorotan. Jaksa penuntut umum atau JPU sebelumnya menuntut Ronald Tannur dengan 12 tahun pidana.
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Airlangga, Nur Basuki Minarno menjelaskan, untuk menilai putusan tersebut, maka harus mencermati pasal yang diterapkan dalam surat dakwaan JPU yaitu Pasal 338 KUHP, Pasal 351 Ayat (3) KUHP, Pasal 359 KUHP, dan Pasal 351 Ayat (1) KUHP.
"Yang perlu diketahui, tiga pasal itu, 338, 351 dan 359, itu korbannya meninggal dunia. Sedangkan, kalau Pasal 351 Ayat (1) itu terkait dengan penganiayaan biasa. Empat pasal itu kalau dalam KUHP disebut delik materiil. Yang dilarang adalah akibatnya," kata Basuki di Surabaya, Jawa Timur, Kamis, 25 Juli 2024.
Basuki menambahkan, dalam konteks sidang terdakwa Ronald Tannur, yang harus dibuktikan jaksa adalah adanya hubungan langsung antara perbuatan terdakwa dengan kematian korban. “Harus ada hubungan langsung [antara kematian korban dengan perbuatan terdakwa],” jelas Basuki.
Menurut dia, dalam perkara kematian Dini, jaksa sudah coba mengajukan alat bukti dan barang bukti.
“Di dalam perkara ini, JPU sudah mencoba dengan mengajukan alat bukti dan barang bukti yang memperkuat bahwa matinya korban itu karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak terdakwa, baik itu saksi, baik itu CCTV, atau visum et repertum,” jelas Basuki.
Lebih lanjut, menurut dia, dari hasil visum, tidak menyebutkan siapa pelakunya. Dari visum yang dilihat adalah pemicu kematian Dini.
Pun, berdasarkan hasil visum et repertum yang disajikan JPU dalam perkara Ronald, disebutkan korban mati karena mengalami pendarahan di bagian hati korban akibat benda tumpul.
“Siapa pelakunya, maka harus menggunakan alat bukti lain. Contohnya, jaksa sudah mengajukan alat bukti CCTV. Sudah mengajukan saksi. Itulah yang akan membuktikan bahwa si terdakwa itu adalah pelakunya sehingga si korban meninggal dunia,” ujar Basuki.
Namun, menurut kejaksaan, alat bukti visum dan CCTV dalam perkara Ronald Tannur diabaikan oleh hakim. Terkait itu, Basuki menuturkan bahwa hakim boleh mengesampingkan dua alat bukti tersebut. Tapi, dengan catatan dua alat bukti tersebut cacat secara hukum.
“Misalnya kejadiannya sekarang tapi visumnya setahun yang akan datang. Itu secara prosedural tidak bisa dipakai visum et repertumnya. Boleh dikesampingkan,” ujar Basuki.
Menurut Basuki, dalam mengesampingkan alat bukti yang diajukan jaksa lalu menggunakan alat bukti yang diajukan pihak lain juga diperlukan dasar yang kuat. Dalam konteks perkara Ronald, hakim menyatakan penyebab kematian korban karena cairan alkohol yang diketahui di lambung korban.
“Pertanyaannya, majelis hakim mempunyai pendapat seperti itu dasarnya apa? Apakah memang ada ahli yang menerangkan untuk itu atau tidak?,” tanya Basuki.
“Atau paling tidak ada dokter yang barangkali pernah merawat si korban bahwa korban itu sebelumnya menderita penyakit tertentu sehingga kalau dia minum alkohol menyebabkan matinya si korban,” ujar Basuki.
Begitu pun soal tidak adanya saksi yang didalihkan hakim dalam putusannya.
“Dari visum tadi yang tidak bisa menunjuk siapa pelakunya, tapi dari CCTV kemudian kronologis perkara, kan, tidak ada pelaku lain selain si terdakwa," jelas Basuki.
"Karena di dalam keterangannya itu diterangkan, sebelumnya antara terdakwa dengan si korban telah mengalami cekcok. Sebetulnya dari sini sudah paling tidak ada gambaran yang sedikit terungkap,” lanjut Basuki.
Sebelumnya, majelis hakim PN Surabaya menjatuhkan vonis bebas terhadap terdakwa Ronald Tannur dalam perkara pembunuhan Dini Sera Afriyanti. Vonis bebas itu dibacakan hakim dalam sidang di PN Surabaya, Rabu, 24 Juli 2024.
Perkara Ronald berawal dari kehebohan di dunia maya tentang dugaan penganiayaan yang menyebabkan tewasnya Dini, beberapa bulan lalu. Dini tewas diduga usai menikmati malam bersama Ronald di tempat hiburan di kawasan Jalan Mayjen Jonosewojo, Lakarsantri, Kota Surabaya, Jawa Timur, Rabu malam, 4 Oktober 2023.