KPK Sita Uang Rp36 Miliar Milik Bupati Langkat di Kasus Gratifikasi

Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika di gedung KPK
Sumber :
  • VIVA.co.id/Zendy Pradana

Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan penyitaan uang terkait dengan kasus gratifikasi yang menjerat mantan Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin Angin alias TRPA. Uang yang disita kembali yakni Rp36 miliar.

Kasus Korupsi Timah, Saksi Ahli: Kerugian Negara Belum Jelas tapi Ekonomi Babel Sudah Hancur

"Ada penyitaan uang sebesar Rp36 miliar terkait dengan tindak pidana korupsi yaitu gratifikasi," ujar Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto kepada wartawan dikutip Senin, 22 Juli 2024.

Juru bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto

Photo :
  • VIVA/Zendy Pradana
Profil 5 Dewas KPK Periode 2024-2029, Ada Eks Jenderal Polisi hingga Mertua Komika Kiky Saputri

Tessa tidak menjelaskan secara detail kapan penyitaan itu dilakukan. Ia hanya menyebutkan bahwa proses penyitaan berkaitan dengan proyek pengadaan di PUPR Kabupaten Langkat.

"Terkait pengadaan barang dan jasa di Dinas PUPR Kabupaten Langkat yang diduga dilakukan oleh Tersangka TRPA, yang merupakan Bupati Langkat 2019-2024, bersama-sama dengan Tersangka IPA dan kawan-kawan," ungkap Tessa.

5 Pimpinan Terpilih, IM57 Institute: Tak Ada Komitmen DPR Kembalikan Reformasi KPK

Sebelumnya diberitakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin Angin sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap proyek di Pemerintah Kabupaten Langkat tahun anggaran 2020-2022.

Penetapan tersangka itu setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap tujuh orang, pada Selasa malam.

"Ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup, maka KPK meningkatkan status perkara ke tahap penyidikan," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron di Gedung KPK, Jakarta, pada Kamis dini hari, 20 Januari 2022.

Kasus itu bermula saat Terbit bersama dengan saudara kandungnya, Iskandar PA mengatur pelaksanaan proyek pekerjaan infrastruktur di Langkat. Terbit memerintahkan Pelaksana Tugas Kepala Dinas PUPR dan Kepala Bagian Pengadaan Barang dan Jasa untuk berkoordinasi dengan Iskandar untuk memilih kontraktor yang akan menjadi pemenang proyek.

Mereka yang ingin menang proyek diduga harus memberikan fee sebanyak 15 persen dari nilai proyek kepada Terbit dan Iskandar. Fee naik menjadi 16,5 persen bila proyek itu menggunakan mekanisme penunjukan langsung.

Salah satu kontraktor yang menang untuk mengerjakan sejumlah proyek adalah Muara Perangin-angin. Dia memenangkan proyek senilai Rp4,3 miliar. Beberapa proyek lainnya dikerjakan oleh Terbit melalui perusahaan milik Iskandar. KPK menduga fee yang diberikan Muara kepada Terbit sebanyak Rp786 juta.

KPK menduga Terbit tidak menerima uang fee proyek secara langsung. Dia menggunakan Iskandar dan tiga orang swasta yaitu Marcos Surya Abdi, Shuhanda Citra, dan Isfi Syahfitra.

KPK menetapkan Terbit dan empat orang kepercayaannya menjadi tersangka penerima suap. Sementara, Muara ditetapkan menjadi tersangka pemberi suap.

Muara sebagai pihak pemberi dijerat Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara pihak penerima yakni Terbit, Iskandar, Marcos, Shuhanda, dan Isfi disangkakan melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya