Rektor UMJ Minta DPR Lanjutkan Pembahasan RUU Penyiaran
- Antara
Jakarta – Menurut Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Prof. Dr. Ma'mun Murod, pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran adalah hal yang krusial hal ini karena penyiaran telah mengalami perkembangan yang begitu pesat. Sehingga, diperlukan pengukuhan ideologi bangsa Indonesia secara lebih baik.
"Amandemen RUU penyiaran saat ini masih belum ada tanda berakhir, penyelesaian atau wujud UU yang baru, padahal usianya sudah lebih dari 22 tahun," kata Ma'mun Murod di Tangerang, Jumat (5/7/24).
Saat ini, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) memang masih dalam proses pembahasan dan konsultasi terkait RUU Penyiaran. Ma'mun Murod lantas mengusulkan agar DPR RI segera melanjutkan pembahasan terkait RUU Penyiaran guna menciptakan regulasi yang lebih komprehensif.
"Saya mohon dengan sangat kepada Komisi I DPR RI untuk bisa membicarakan segera RUU Penyiaran supaya muncul RUU Penyiaran yang lebih komprehensif, menyangkut perkembangan penyiaran di Indonesia," imbuhnya.
Ma'mun mengatakan bahwa kondisi dunia penyiaran saat ini menimbulkan kekhawatiran, terutama dengan munculnya banyak platform media baru dan konten siaran yang sulit dikendalikan, seperti penyiaran terkait LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender).
Menurutnya, perlu ada regulasi yang lebih ketat dari pemerintah setelah ia menyoroti pengaruh besar dari influencer atau pelaku penyiaran di media sosial yang seringkali memperoleh keuntungan besar dari konten negatif.
"Penting adanya pembahasan terkait RUU Penyiaran baru supaya komprehensif dan tetap mengedepankan khas Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UU NKRI 1945," ungkapnya.
Di sisi lain, beberapa organisasi jurnalistik seperti Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) masih menolak RUU Penyiaran karena khawatir akan mengancam kebebasan pers dan kreativitas individu di berbagai platform.
"Meminta kepada semua pihak untuk mengawal revisi UU Penyiaran agar tidak menjadi alat untuk membungkam kemerdekaan pers serta kreativitas individu di berbagai platform," kata Herik dalam jumpa pers di Gedung Dewan Pers, Selasa (14/5/24).
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Ubaidillah, mengatakan bahwa pihaknya belum menerima naskah RUU Penyiaran.
"Kami tidak tahu RUU dari baleg (badan legislatif) akan dibahas pemerintah di periode ini atau periode selanjutnya," ungkap Ubaidillah.
Ubaidillah berharap KPI Pusat memperoleh saran dan masukan konstruktif dari masyarakat akademis untuk menyesuaikan pasal-pasal RUU dengan perkembangan zaman dan teknologi, serta yang berhubungan dengan penguatan kelembagaan.
"Maka dari itu kami dari KPI pusat maupun daerah mendorong agar dilanjutkan pembahasan RUU Penyiaran sehingga bisa sesuai dengan perkembangan zaman," kata dia.
Penguatan kelembagaan ini dipandang sangat penting mengingat kondisi KPI, terutama di daerah masih kurang optimal. Hal ini disebabkan oleh Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah yang menyatakan bahwa urusan penyiaran tidak termasuk dalam urusan pemerintah daerah.