Menurut Penelitian, Wilayah yang Dikuasai Dinasti Politik Identik dengan Kemiskinan
- vstory
VIVA – Universitas Sebelas Maret melakukan penelitian tentang kaitan dinasti politik dengan kemiskinan. Penelitian tahun 2018 tersebut diberi judul “The paradox of political dynasties of regeneration type and poverty in regional autonomy era”. Ditulis dan diteliti oleh Danur Condro Guritno, Bhimo Rizky Samudro dan Albertus Maqnus Susilo.
Penelitian tersebut mengidentifikasi tiga jenis dinasti politik. Pertama, dinasti politik dengan bentuk yang lebih moderat. Keluarga pejabat politik bersaing untuk merebut kekuasaan melalui proses demokrasi. Dalam bentuk ini, dinasti politik mengikuti semua prosedur dan aturan demokrasi yang berlaku secara wajar.
Kedua, dinasti politik melalui pengkaderan politik. Dalam bentuk ini, anggota keluarga dipersiapkan dan dididik untuk berkompetisi politik di masa depan. Dinasti politik jenis ini menekankan kematangan dan kemampuan anggota keluarga yang dilatih secara menyeluruh dalam jangka waktu yang panjang, tidak hanya mengandalkan garis keturunan atau popularitas.
Ketiga, bentuk dinasti politik yang lebih otoriter. Dilakukan pengaturan agar tidak ada kandidat lain yang dapat menjadi pesaing sepadan. Terdapat manipulasi politik saat pencalonan sehingga pemilih tidak memiliki pilihan lain dan harus memilih calon yang telah dipersiapkan oleh pejabat politik.
Di Indonesia, kemenangan terbesar calon kepala daerah yang terkait dengan dinasti politik terjadi di tingkat kabupaten, 46 pasang calon atau sebesar 47,4 % dari 97 pasangan memenangkan pemilihan. Di tingkat provinsi, 2 dari 6 pasangan calon gubernur yang terkait dengan dinasti politik atau sekitar 33,3%, berhasil menang. Sementara itu, di tingkat kota, 10 dari 32 pasangan calon wali kota yang terkait dengan dinasti politik atau sekitar 31,2%, berhasil meraih kemenangan.
Penelitian tersebut dilakukan di 12 kabupaten/kota. Tingginya tingkat kemenangan di kabupaten dikaitkan dengan tingkat pendidikan, ekonomi, dan akses informasi yang lebih rendah dibandingkan dengan kota. Oleh karena itu, peneliti menyimpulkan bahwa daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi cenderung menjadi lahan subur bagi pertumbuhan dinasti politik.
Perkembangan dinasti politik dalam pemilihan kepala daerah maupun anggota legislatif mengindikasikan bahwa orientasi dan pertimbangan pemilih masih dipengaruhi oleh popularitas dan reputasi keluarga pejabat. Sebagian besar pemilih cenderung memilih calon dari keluarga yang sedang berkuasa untuk menghindari ketidakpastian masa depan mereka. Padahal popularitas dan reputasi keluarga calon tidak selalu mencerminkan kemampuan mereka untuk memimpin dan membawa kemajuan bagi daerah yang ingin dipimpin.
Lebih lanjut, penelitian ini juga menyampaikan bahwa kepemimpinan dinasti politik yang didasarkan pada garis keturunan dan popularitas cenderung tidak mendukung munculnya inovasi dan kreativitas. Kreativitas dan inovasi hanya akan muncul dari pemimpin yang memiliki latar belakang akademisi yang kuat, intelektual, wawasan luas dan integritas yang tinggi.
Meskipun sebagian besar masyarakat masih menganggap dinasti politik sebagai hal yang lumrah, namun di sebagian wilayah tetap terjadi penolakan dari beberapa kelompok. Penolakan tersebut didasarkan pada fakta bahwa dinasti politik tidak memberikan kesejahteraan yang lebih baik dibandingkan dengan daerah yang tidak mengalami dinasti politik.