Eks Pimpinan JAD: Deradikalisasi Napiter Penting, Jangan Sampai Tidak Dilakukan

Ikrar Setia Napi Terorisme Lapas Gunung Sindur
Sumber :
  • VIVA/ Edwin Firdaus

Jakarta - Mantan pimpinan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Bekasi, Fazri Pahlawan alias Abu Zee Ghuroba, menganggap program deradikalisasi penting bagi narapidana kasus terorisme (napiter), terlebih bagi mereka yang memiliki keahlian khusus seperti merakit bahan peledak atau mereka yang termasuk ideolog yang bisa memberikan pemahaman radikal kepada pengikutnya.

Hasto Diperiksa di Ruangan Dingin, Adian: Itu Standar Pemeriksaan Terhadap Teroris, Musuh Negara

"Deradikalisasi ini sangat penting. Jangan sampai tidak dilakukan," kata Fazri, saat dihubungi, Selasa, 25 Juni 2024.

Menurut Fazri, program deradikalisasi bagi napiter yang dijalankan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Densus 88 Polri  sudah cukup baik. Dari pengalaman Fazri, deradikalisasi dilakukan dua tahap, yakni ketika masih di penjara dan setelah bebas dari tahanan. Kegiatan di dalam penjara antara lain diskusi dan bedah buku.

BNPT Gelar Kompetisi Jurnalistik Kebangsaan, Dorong Mahasiswa agar Kritis

"Alhamdulillah dari deradikalisasi di dalam itu banyak napiter yang pikirannya bisa terbuka dan meninggalkan pemahaman mereka yang dulu," ujar pria 33 tahun yang pernah dihukum 4,5 tahun penjara karena perannya memimpin JAD itu.

Basri alias Bagong Napi Teroris Kelompok Poso Ikrar Setia pada NKRI.

Photo :
  • Istimewa
Delegasi Jepang Adakan Pertemuan dengan BNPT, Ini yang Dibahas

Namun ia menyayangkan karena program yang ditujukan untuk mengubah pemikiran dan pemahaman seseorang ke arah yang baik ini bersifat tidak mengikat atau sukarela, terutama deradikalisasi setelah bebas dari tahanan.

"Tidak ada keharusan untuk ikut deradikalisasi di luar tahanan. Jadi ada eks napiter yang menolak ikut kegiatan ini dan bisa diduga mereka masih belum lepas dari pemahaman radikalnya," ucap Fazri.

Sementara itu, terkait penangkapan pria berinisial AAR di Karawang, Jawa Barat, beberapa waktu lalu, Fazri menyebut AAR kembali terjerat terorisme lantaran tidak bersungguh-sungguh saat mengikuti program deradikalisasi dari BNPT maupun Densus 88 ketika dia ditangkap dalam kasus sebelumnya.

"Dia ikut deradikalisasi, tapi ber-taqiyyah atau bersiasat. Dia pura-pura kembali ke pangkuan NKRI supaya tidak dianggap radikal lagi, padahal pemahamannya masih tetap radikal," kata Fazri.

Fazri menuturkan ada saja napiter yang bersikap seperti AAR ketika ikut program deradikalisasi. Sebagai contoh di JAD, kelompok teroris di Indonesia yang terafiliasi Negara Islam Irak-Suriah (ISIS), Fazri menyebut ditemukan sosok napiter yang seperti itu. "Mereka belum move on dari pemahaman radikalnya," ujarnya.

Lebih lanjut, Fazri mendorong pelibatan aktif eks-eks napiter yang benar-benar sudah bertobat dalam setiap program deradikalisasi. Menurut dia, eks-eks napiter yang sudah bertobat tersebut bisa menjadi teman diskusi yang tepat bagi para napiter.

"Para napiter itu bisa dengan mudah dirangkul sebab mereka akan merasa punya teman. Lalu mereka bisa berbicara dari hati ke hati karena memang sudah ada chemistry. Dengan demikian, pemahaman yang keliru bisa diluruskan," ucap Fazri.

Seperti diketahui, tim Densus 88 menangkap AAR di rumah kontrakannya, di daerah Karawang, Jawa Barat, pada Sabtu, 15 Juni 2024. AAR yang sehari-hari bekerja sebagai tukang bubur sumsum diduga memiliki keterkaitan dengan kelompok teroris ISIS.

Dengan keahliannya merakit bahan peledak, AAR diduga telah menyusun rencana aksi bom di Tanah Air. Adapun sebelumnya AAR pernah ditangkap di kasus serupa sebanyak dua kali, yakni pada 2011 dan 2018.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya