Denny JA Terbitkan Buku Puisi Esai ke-6, Kali Ini soal Sisi Gelap Sejarah Kemerdekaan

Denny JA terbitkan buku puisi esai ke-6
Sumber :
  • Istimewa

Jakarta – Denny JA kembali mengeluarkan karya dalam literasi Indonesia. Kali ini, pendiri lembaga survei LSI dan konsultan politik ini menerbitkan buku puisi esai yang bertajuk 'Yang Tercecer di Era Kemerdekaan' pada Juni 2024.

BI Buatkan Buku Panduan Kembangkan UMKM Lewat Pembiayaan Digital

Buku puisi esai ke-6 Denny JA ini menggali kisah-kisah di balik peristiwa kemerdekaan tahun 1945, lebih kepada sisi gelapnya. Mulai dari kisah puluhan ribu gadis pribumi yang dipaksa untuk menjadi gadis penghibur bagi tentara Jepang, hingga kisah mengenai Romusha, yaitu para pemuda Indonesia umumnya, yang dibujuk untuk menjadi tenaga yang bekerja secara paksa, yang nyaris sama seperti budak.

"Mereka begitu menderita karena kurangnya fasilitas yang diberikan. Banyak dari mereka banyak juga yang kemudian mati secara merana," kata Denny JA.

Kemenag Kucurkan Ratusan Juta Rupiah ke Pemenang Penulis Buku Umum Keagamaan Islam

Denny JA

Photo :
  • Istimewa

Ada juga kisah mengenai para gadis pribumi yang menjadi pembantu rumah tangga, sekaligus juga menjadi gundik atau istri yang tak dinikahi bagi tuan-tuan Belanda. 

Menyentuh! Demi Pelajari Islam, Bule Ini Rela Baca Al-Quran 18 Jam: Menenangkan!

Denny JA sendiri menyelami dilema moral yang dihadapi Bung Karno saat itu sebagai seorang pemimpin di era kemerdekaan.

Ia paham, pastilah Bung Karno sangat ingin sekali Indonesia merdeka. Tapi apa daya saat itu Jepang yang berkuasa. Jepang baru saja mengalahkan Belanda.

Bung Karno punya pilihan bekerja sama dengan Jepang melawan tentara sekutu. Bung Karno meyakini Jepang nantinya membantu Indonesia untuk menang.

"Karena harapan itu, Bung Karno membantu Jepang mendapatkan tenaga kerja Indonesia yang banyak bagi aneka programnya. Salah satunya adalah program untuk memobilisasi tenaga kerja," katanya.

Dalam bukunya, Denny JA menuturkan, Bung Karno mengakui sendiri ia ikut memobilisasi pemuda-pemuda Indonesia untuk mau bekerja sebagai romusha. Ia berfoto untuk itu. Bung Karno juga berkampanye untuk itu. 

Bung Karno tidak menyangka bahwa ternyata pemuda-pemuda yang bekerja bagi Jepang itu menderita yang sangat menyedihkan. 

Banyak dari mereka misalnya yang dikirim bertumpuk-tumpuk di kereta api, yang pengap dan mati di kereta api sana. Mayatnya pun dibuang di jalan. 

Banyak dari mereka juga yang dikirim ke luar negeri naik kapal laut tanpa makanan yang cukup, tanpa fasilitas kesehatan yang cukup. Banyak pula yang mati di kapal dan mayatnya pun dibuang di laut. 

Sementara banyak pula yang bekerja di luar negeri ataupun bekerja di luar Jawa sana. Mereka mati tersiksq. Atau badan mereka kurus kering, tinggal tulang belulang saja diselimuti hanya oleh kulit. 

"Foto-foto dari mereka yang bekerja di romusha ini pun masih bisa kita lihat di Google. Bung Karno mengakui betapa ia sangat sedih. Ia tidak menyangka dan menyesal dengan kondisi rakyat Indonesia yang sempat ia sendiri mobilisasi," ucapnya.

Tapi ini tidak hanya sekedar soal romusha, Denny JA. juga menggali kisah-kisah gadis muda Indonesia. Mereka sebagian besar tertipu dijadikan gadis penghibur tentara Jepang. 

Mulai dari kisah Mardiem misalnya, yang saat itu usianya 13 tahun. Ia dibujuk untuk bekerja di Kalimantan menjadi penyanyi di sana. Menjadi penyanyi itu adalah idaman Mardiem sejak lama.

Namun Mardiyem kaget sekali ketika sampai di Kalimantan. Ia dimasukkan di kamar yang kecil. Ia dipaksa melayani tentara Jepang. Ia diperkosa katanya sehari kadang-kadang sampai 10 dan sampai 15 tentara Jepang. 

Ia alami ini bertahun-tahun. Itu dialami juga tidak hanya oleh Mardiem tapi oleh ribuan gadis pribumi Indonesia lainnya.

Sebelum Jepang pun banyak gadis pribumi yang juga mengalami hal serupa. Tapi yang ini terjadi di rumah-rumah tuan Belanda.

Umumnya para lelaki Belanda ketika datang ke Indonesia, menjajah Indonesia, mereka tidak membawa istrinya. Mereka menjadikan banyak gadis pribumi sebagai pembantunya. 

Namun dalam perjalanan, pembantunya ini pun dijadikan sebagai gundiknya, sebagai sejenis istri tapi tidak dinikahi secara resmi. Mereka dijadikan nyai.

Para nyai ini beranak-pinak. Tapi sekali lagi sang istri yang tidak dinikahi ini atau disebut nyai atau gundik ini, tidak punya hak atas anak-anak yang dilahirkannya. Banyak dari anak anak mereka pun yang akhirnya diambil oleh tuan Belanda dan dibawa ke Belanda.

Kisah-kisah yang kelam di era kemerdekaan inilah yang diangkat oleh Denny JA dalam puisi esainya. 

Puisi Esai

Puisi esai adalah puisi yang digagas oleh Denny JA yang merupakan inovasi cara bertutur. Ketika ingin menuliskan kisah sejarah atau true story misalnya, Denny mengatakan, kisah itu bisa dibuatkan dalam bentuk makalah ilmiah. Atau kisah itu bisa dibuatkan reportase jurnalisme. Kedua cara berturut ini harus bersandar pada fakta.

Denny JA mengembangkan cara lain bahwa kisah true story itu, yang acap kali dramatis, itu dilaporkan dalam bentuk puisi esai. Dalam puisi esai, elemen fiksi begitu kokohnya. Sementara elemen fakta disampaikan lewat catatan kaki yang sentral dalam puisi esai.

Benar itu peristiwa terjadi. Benar itu terjadi di tahun dan tempat tertentu. Tapi dihadirkan di sana drama-drama yang fiksi, agar peristiwa itu lebih mudah diingat, lebih dramatis, dan lebih menyentuh hati. Itulah puisi esai yang digagas Denny JA sejak tahun 2012.

Di tahun 2024 ini, Denny JA menerbitkan dan mempublikasi buku puisi esainya yang ke-6. Judulnya, "Yang Tercecer di Era Kemerdekaan."

"Sejarah akan lebih mudah diingat dan menyentuh hati jika ia disampaikan lewat kisah-kisah. Maka yang akan muncul di sana tidak hanya data mengenai tokoh, tempat, dan peristiwa, tapi juga drama, gejolak-gejolak emosi. Karena itulah, saya memilih menggali sejarah di era kemerdekaan dan menyampaikannya dalam bentuk puisi esai," ujarnya.

"Ini cara bertutur yang menggabungkan fakta yang terjadi dalam sejarah, tapi ditambahkan fiksi, dibuat drama tambahan. Ramuan itu membuat kisah sejarah atau true story lebih menyentuh hati dan lebih mudah diingat," tambahnya.

Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA

Photo :
  • Istimewa

Sebelumnya, Danny J.A. juga sudah pernah menerbitkan 5 buku puisi esainya lainnya.

Pertama adalah "Atas Nama Cinta," yang terbit di tahun 2012. Buku ini menggali dan merekam suasana diskriminasi yang masih dirasakan publik luas setelah reformasi. 

Mulai dari diskriminasi yang sifatnya agama, diskriminasi gender, diskriminasi etnik, dan juga diskriminasi orientasi seksual. Inilah buku puisi esainya yang pertama yang ada, dan itu pula awal diperkenalkannya genre puisi esai.

Lalu kedua, Denny J.A. menerbitkan juga buku yang berjudul "Kutunggu di Setiap Kamis." Puisi esainya ini menggali kisah orang-orang yang hilang dalam sejarah Indonesia sejak tahun 1965 sampai 1998.

Setiap hari Kamis itu puluhan ibu-ibu, bapak-bapak, laki dan perempuan berdemonstrasi di depan istana negara di Jakarta dengan membawa payung hitam. Mereka mencari keluarga mereka yang hilang. Denny JA pun menggali kisah di balik peristiwa hilangnya seorang aktivis di tahun 1998 itu yang dikisahkan.

Buku puisi esai ketiga, Denny JA menggali kisah-kisah yang lebih filosofis. Judulnya Roti Untuk Hati. 

Ini kisah-kisah yang lebih menggambarkan perjalanan individu mencari meaning of life. Ia menggali kisah-kisah yang filosofis mengenai agama, seni hidup. Juga mengenai cara individu menemukan arti dalam hidupnya.

Buku keempat, Denny JA menulis buku pusih esei berjudul “Jiwa Yang Berzikir.” Puisi esai ini lebih menggali ayat-ayat kitab suci Al-Quran. Memang puisi Jiwa Yang Berzikir ini dibuatnya sepenuh bulan Ramadan. 

Denny JA mencoba menyusuri 30 juz Al-Quran,!mencari apa intisar dari juz itu. Lalu ia padukan dengan kisah-kisah sejarah yang pernah terjadi, tidak hanya di Indonesia tapi juga di seluruh negeri. 

Buku puisi esainya yang kelima judulnya adalah “Jeritan Setelah Kebebasan.” Buku ini mengenai aneka konflik primordial yang terjadi setelah reformasi. 

Di Maluku, konflik antara Kristen dan Muslim. Di Sampit, perselisihan berdarah antara suku Madura dan suku Dayak. 

Di Lampung, konflik antara suku Lampung dan Bali. Di Jakarta terjadinamuk masa terhadap etnik Tionghoa. Sedangkan di Mataram, NTB, kasus pengungsian dari pemeluk agama Ahmadiyah.

Denny JA membandingkan betapa berbeda konteks sosial ketika ia menerbitkan buku puisi esainya yang ke-6 tahun 2024 dibandingkan buku puisi esainya yang pertama "Atas Nama Cinta." 

Ketika terbit buku puisi esainya yang pertama, beberapa tahun dari sana terjadi satu gelombang penolakan yang besar sekali. Ini terjadi setelah terbit satu buku yang berjudul "33 Tokoh Paling Berpengaruh Dalam Sastra Indonesia.”

Dalam buku itu, Denny JA dimasukkan di sana sebagai satu dari 33 tokoh berpengaruh di dunia sastra. Denny JA dimasukkan ke dalam daftar karena ia membawa genre baru puisi esai.

Saat itu, penolakan terhadap Denny JA oleh sebagian sastrawan terjadi sangat besar sekali. Kontroversi pro dan kontra terjadi begitu kerasnya. 

Tapi sekarang, 12 tahun kemudian, ketika Denny JA. menerbitkan buku puisi esainya yang ke-6, praktis tak ada lagi gelombang penolakan itu. Yang terjadi sebaliknya. 

Sekarang ini bahkan terjadi festival puisi esai tingkat ASEAN di Malaysia yang dibiayai sepenuhnya oleh kerajaan Malaysia di Sabah. Pada tahun 2024, Festival Puisi Esai ASEAN itu sudah terjadi yang ketiga.

Di Indonesia pun sudah muncul komunitas puisi esai se-Indonesia. Juga. sudah hadir pula pertemuan festival puisi esai setiap tahun. Itu dimulai di Jakarta 2023 di HB Yassin di Taman Ismail Marzuki.

Dengan terbitnya buku ke-6 ini Yang Tercecer di Era Kemerdekaan," Denny JA. juga memberikan nuansa baru bagi puisi esainya. 

Jika sebelumnya, pada tahun 2012 dengan "Atas Nama Cinta," puisi esainya panjang sekali, jika dibaca bisa sampai 30-40 menit. Maka pada puisi esainya yang terakhir dalam buku "Yang Tercecer di Era Kemerdekaan," jika dibaca di panggung ini hanya memakan waktu sekitar 5 menit saja.

Buku puisi esainya "Yang Tercecer di Era Kemerdekaan" tahun 2024 ini juga sekaligus disiapkan sebagai puisi esai yang bisa dibacakan di panggung.

“Ketika puisi esainya dibacakan, kita tak hanya mendapatkan keindahan sebagaimana keindahan dari puisi biasa. Namun juga kita mendapatkan kisah dari sepotong sejarah di Indonesia yang benar-benar terjadi,” kata Denny JA.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya