Kepala BMKG: Suhu Permukaan Bumi Naik Cepat, Berdampak Buruk pada Kehidupan Manusia
- VIVA/M Ali Wafa
Jakarta - Pemerintah Indonesia menekankan pentingnya The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) sebagai forum dunia yang difasilitasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menggelar pengamatan kebumian secara sistematis atas fenomena kenaikan suhu permukaan bumi saat ini.
Indonesia mendelegasikan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati untuk menyampaikan gagasan tersebut dalam forum UNFCC bertajuk "Ocean and Climate Change Dialogue 2024" di Bonn, Jerman.
"Pengamatan ini tidak boleh dianggap sepele karena suhu permukaan meningkat sangat cepat setiap tahunnya yang berdampak buruk pada kehidupan manusia dan seluruh mahkluk hidup di bumi," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis, 20 Juni 2024.
Ia menjabarkan tahun 2023 menjadi tahun terpanas karena suhu permukaan bumi global telah meningkat cepat dengan rata-rata tahunan mencapai 1,45 derajat Celcius. Padahal tahun 2020 menurut laporan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) kenaikan rata-rata suhu global adalah 1,2 derajat Celcius.
Dari situ pula BMKG menilai pengamatan sistematis kebumian tidak hanya penting sebagai data pendukung pengambilan kebijakan terkait mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, tapi sangat dibutuhkan untuk berbagai keperluan dalam konteks menjaga stabilitas ekonomi dan politik global.
Ia mengatakan peningkatan suhu bumi yang makin panas juga meningkatkan frekuensi bencana hidrometeorologi, kekeringan, buruknya kualitas udara, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), gelombang panas, risiko kesehatan, serta penurunan kualitas hidup yang berimplikasi pada perekonomian dan politik dunia.
"Maka dalam pelaksanaannya (UNFCC) harus juga diikuti oleh tindakan yang sistematis di segala lini, agar dampak panas ekstrem dan dampak perubahan iklim lainnya dapat ditangani secara efektif," ujarnya.
Mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) itu mencontohkan, misalnya informasi mengenai fenomena El Nino yang menyebabkan kenaikan panas laut yang meluas di Pasifik tropis bagian timur merupakan hasil pengamatan kebumian sistematis yang didukung juga oleh pemantauan satelit.
Selain itu prediksi Food and Agriculture Organization (FAO) mengenai ancaman krisis pangan pada tahun 2050 mendatang juga merupakan hasil dari pengamatan kebumian yang sistematis secara global, nasional, dan lokal.
"Singkatnya pengamatan sistematis tersebut, memungkinkan seluruh negara di dunia untuk melakukan analisis dan prediksi lebih lanjut, karena sudah diketahui bahwa ternyata perubahan iklim memberi tekanan pada sumber daya air yang sudah langka, menghasilkan hotspot air dan seterusnya," ujar Dwikorita.
Dalam forum dunia tersebut Dwikorita mencontohkan pula bahwa Pemerintah Indonesia sudah mulai meningkatkan jaringan pengamatan kebumian baik di laut maupun darat yang juga diiringi dengan peningkatan kapasitas pemprosesan data dan peningkatan penyebaran informasi kepada publik dan sektor pengguna.
"Karena kunci dari perubahan iklim adalah laut yang juga berinteraksi dengan atmosfer. Jadi, ketika kita berbicara tentang dampak perubahan iklim, kita tidak bisa mengabaikan integrasi pengamatan laut dan atmosfer, mulai dari pemrosesan data, analisis, prediksi, dan proyeksinya, hingga penyebarluasan hasil analisis atau informasi untuk berbagai kepentingan layanan," katanya. (ant)