Komisi I DPR Klaim Tak Laramg Jurnalisme Investigasi, Tapi Diatur Ekslusifnya
- DPR RI
Jakarta – Anggota Komisi I DPR RI, Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan bahwa DPR RI tidak ada maksud melarang dalam praktik jurnalisme investigasi yang tercantum dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Penyiaran. Menurut dia, dalam rancangan itu justru hanya mengatur konten jurnalistik investigasi eksklusif.
"Jurnalistik investigasi itu dilarang, bukan. Maksudnya kita itu jurnalistik investigasi eksklusif," ujar Bobby di kawasan Jakarta Selatan pada Jumat, 14 Juni 2024.
Bobby mengklaim bahwa Komisi I hanya mengatur investigasi ekslusifitas melalui publisher right. Ia menyebut nantinya justru akan lebih memudahkan untuk produksi berita karena bisa lebih variatif dan menguntungkan platform digital.
"Kita ini kan ingin bahwa Pers memiliki yang di daerah di mana-mana ada punya publisher rights atau hak siar atau dia itu dilindungi, sehingga produksi berita itu akan menjadi lebih variatif lebih banyak dan kalau ditayangkan di platform digital yang bikin berita pertama dapat uang. Bagus toh ini publisher rights," kata Bobby.
Lebih jauh, Bobby menyebut tujuannya agar informasi tentang hukum dalam pemberitaan tidak bisa disiarkan dalam over the top (OTT) seperti Netflix, Video, Prime Video dam sebagainya.
"Yang kita tidak ingin adalah kalau yang berkaitan dengan hal-hal yang sangat sensitif, contohnya dengan kasus hukum, kasus terorisme. Karena tayangan-tayangan tersebut itu jurnalisme investigasinya memberikan pandangan. Pandangan itu yang bagaimana kita menilai objektifitasnya," kata Bobby.
Lalu, Bobby mencontohkan kasus kopi Sianida dengan korban Mirna. Menurut dia, kopi sianida ini ditayangkan di platform Netflix.
"Nah kalau terhadap suatu kasus gampang saja lah, Kopi Sianida kan sekarang ada filmnya, filmnya ditayangkan di mana? Di Netflix bukan di tempat lain. Nah kalau di Netflix apa? Tangan kita enggak bisa menjangkau, nah kalau yang seperti ini gimana dong? Kasus hukum sudah diputuskan, ada filmnya, kronologisnya, ada pandangan-pandangannya. Ini bisa berbahaya membuat publik tidak percaya sistem hukum kita," tegasnya.