KPU-Jokowi Menang, PN Jakpus Putuskan Tak Ada Wewenang Adili Gugatan soal Gibran
- ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Jakarta – Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah menyatakan tidak memiliki wewenang dalam mengadili gugatan perbuatan melawan hukum dengan tergugatnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman. Artinya, PN Jakarta Pusat telah menerima eksepsi tergugat hingga turut tergugat.
Adapun pihak yang masuk dalam turut tergugat yakni Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Mensesneg Pratikno. Dalam gugatan tersebut tertulis gugatannya dengan nomor perkara 752/Pdt.G/2023/PN Jkt.Pst.
"Menyatakan pengadilan negeri tidak berwenang mengadili perkara ini," bunyi putusan dikutip dari SIPP PN Jakarta Pusat, Senin 3 Juni 2024.
Gugatan tersebut dilayangkan oleh Hariyanto, Firman Tendry Masengi, dan Azwar Furgudyama. Sidang gugatan tersebut pun digelar pada hari ini.
"Mengabulkan eksepsi Para Tergugat dan Para Turut Tergugat," lanjut keterangan SIPP PN Jakpus.
"Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 752.000," sambungnya.
Dalam gugatan tersebut, begini isi petitum yang dilihat dari SIPP PN Jakpus.
Dalam Provisi:
1. Mengabulkan permohonan provisi Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menghukum dan memerintahkan Tergugat I untuk melakukan penghentian proses pencalonan Sdr Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden dalam Pemilu Tahun 2024 sampai adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap dalam perkara ini;
3. Meletakkan sita jaminan (conservatoir beslaag) terhadap harta kekayaan milik Para Turut Tergugat baik berupa benda tetap/tidak bergerak maupun benda tidak tetap/bergerak dan untuk pelaksanaannya bila perlu menggunakan alat kekuasaan negara, yang masih dalam pendataan Penggugat.
Dalam pokok perkara
1. Menerima dan mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan perbuatan Para Tergugat adalah perbuatan melawan hukum.
3. Menghukum Tergugat I untuk meminta maaf kepada Para Penggugat dan Masyarakat Umum karena telah melakukan perbuatan melawan hukum di 2 (dua) media cetak dan 2 (dua) media elektronik nasional selama 7 (tujuh) hari berturut-turut, dengan kalimat permintaan maaf.