Catatan Politikus PDIP di Hari Pancasila: Evaluasi Sistem Pemilu Mendatang
- Eduward Ambarita/VIVA.co.id
Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta mempertanyakan apakah Pancasila masih relevan dengan kehidupan ketatanegaraan Indonesia saat ini. Menurut dia, jika masih sepakat menempatkan Pancasila sebagai landasan berbangsa dan bernegara, mengapa isu-isu yang menyangkut moral atau praktik-praktik di luar nilai-nilai Pancasila kerap diperlihatkan oleh para elit negeri.
“Apakah Pancasila masih relevan dengan kehidupan ketatanegaraan Indonesia saat ini? Pertanyaan ini terus menyelimuti diskursus anak bangsa, paling tidak setahun belakangan ini. Ujian bagi Pancasila,” kata Wayan Sudirta melalui keterangannya dalam rangka refleksi Hari Lahir Pancasila pada Sabtu, 1 Juni 2024.
Kata Wayan, Soekarno (Bung Karno) telah menegaskan dalam pidatonya pada 1 Juni 1945 di hadapan Sidang BPUPKI, bahwa Pancasila adalah landasan berbangsa dan bernegara. Tak hanya itu, Pancasila juga melandasi pembentukan konstitusi UUD 1945 dan pengambilan seluruh kebijakan berbangsa dan negara.
“Sebagai filsafat kenegaraan Indonesia, pemikiran Bung Karno mengenai Pancasila meliputi, pertama, kebangsaan. Dasar dari pendirian negara Indonesia adalah nasionalisme. Makna kebangsaan ini merujuk pada persatuan di tengah keragaman, struktur negara-bangsa modern, dan arahnya yang bersifat sosialistik,” ujarnya.
Anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) ini menyebut diterimanya Pancasila sebagai ideologi negara, berarti menolak sistem kapitalisme-liberal maupun sosialisme-komunis. Harus diakui, kata dia, bahwa Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia memiliki perbedaan nyata dengan sistem kapitalisme-liberal maupun sosialisme-komunis.
“Disamping itu, Pancasila juga mengakui dan melindungi baik hak-hak individu maupun hak masyarakat, baik di bidang ekonomi maupun politik. Ideologi Pancasila mengakui secara selaras baik kolektivisme maupun individualisme,” jelas dia.
Sebagai fundamen kenegaraan, Wayan menambahkan bahwa Pancasila menjadi landasan dalam membangun tatanan kehidupan ketatanegaraan yang meliputi seluruh bidang kehidupan yaitu membangun sistem ekonomi, sosial, politik, budaya, pertahanan, keamanan, dan hukum.
“Jika menilik kompleksitas dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2024, tulisan ini mendorong dibuatnya kajian hukum tata negara untuk mengevaluasi sistem pemilu yang akan datang,” katanya.
Karena, kata dia, sistem Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang pada awalnya ingin menumbuhkan demokrasi dalam bernegara, justru melahirkan kondisi destruktif yang disebut paradox demokrasi dengan ciri antara lain menjadikan Pemilu Presiden sebagai bussiness as usual, munculnya big man, neopratimonial, clinetelist, informalised dan disordered politics.
“Melihat kondisi yang demikian, sebuah langkah komprehensif sudah selayaknya diambil dengan mempertanyakan bagaimana sebaiknya desain demokrasi Indonesia diselenggarakan berdasar nilai-nilai Pancasila? Penataan itu mutlak dilakukan karena dalam tataran praktis, Pemilu Presiden justru semakin menjauhkan tercapainya esensi permusyawaratan-perwakilan sesuai dengan maksud sila keempat dari Pancasila,” ungkapnya.
Padahal sejatinya, Wayan mengatakan semangat untuk menegakkan nilai-nilai Pancasila merupakan prinsip dasar penyelenggaraan pemilu dan kedaulatan rakyat yakni kebebasan, kesetaraan, mayoritarian, dan pertanggungjawaban. “Keempat prinsip ini sepatutnya melekat pada setiap pelaksanaan Pemilu, dalam rangka memastikan tegaknya kedaulatan rakyat,” tegas dia.
Selanjutnya, Wayan mengingatkan kembali pidato Bung Karno di Istana Negara pada 26 Mei 1958 pada kursus Pancasila di depan kader-kader Pancasila, bahwa waktu menggali Pancasila sampai saf (lapis) yang paling dalam, yaitu ke saf pra Hindu agar Pancasila selain dapat titik temu sebagai pemersatu, dan meja statis yang mampu menjadi leidstar dinamis, untuk memberikan orientasi dan cita-cita bangsa ke depan.
“Pernyataan Bung Karno ini menjadi landasan ontologis, untuk menghadirkan kembali Haluan Negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang bertumpu pada prinsip negara hukum dan supremasi konstitusi, yaitu Haluan Negara merupakan haluan yang merupakan manifestasi dari nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945,” katanya lagi.
Kedua, Haluan Negara merupakan kehendak rakyat untuk mewujudkan tujuan negara serta sebagai upaya untuk memberikan arah bagi penyelenggara negara dan rakyat Indonesia dalam mencapai tujuan bernegara. Ketiga, Haluan Negara berfungsi untuk memberikan kejelasan arah bagi perjuangan dan pembangunan bangsa dan negara, agar dapat menciptakan keadaan yang diinginkan dalam jangka waktu tertentu serta untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia.
Keempat, Haluan Negara bukan semata-mata sebagai arah pembangunan nasional saja, akan tetapi di dalamnya juga terkandung mekanisme dan arah bagi semua penyelenggara negara di pusat dan daerah.
“Menghadirkan kembali Haluan Negara akan menjadi salah satu alternatif solusi terbaik, agar penyelenggaraan Pemilu Presiden ke depan tidak lagi diwarnai berbagai isu yang mengarah pada penyelenggaraan Pemilu yang tidak demokratis,” pungkasnya.