Kewenangan KPI dalam RUU Penyiaran Diperluas tapi Tidak Menguat, Menurut Pakar Komunikasi
- vivanews/Andry Daud
Jakarta - Pakar komunikasi pada Universitas Indonesia Eriyanto menyebut kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang diperluas dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran, versi 27 Maret 2024, tidak menjadikan lembaga itu menjadi makin menguat.
“Jadi, di sini kewenangan KPI memang makin luas, tetapi tidak makin kuat karena justru hal-hal yang sangat penting, bahkan terkait dengan penyusunan P3SPS (pedoman perilaku penyiaran) dan standar program siaran, bahkan ada pasal-pasal yang itu harus berkonsultasi dulu dengan DPR,” kata Eriyanto dalam diskusi yang dipantau secara daring dari Jakarta, Jumat, 31 Mei 2024.
Ia mengatakan bahwa dalam UU sebelumnya tidak mencantumkan kewajiban untuk berkonsultasi terlebih dahulu dengan DPR. Oleh sebab itu, ia mengatakan terdapat sebuah paradoks karena kewenangan KPI dalam RUU itu semakin besar, tetapi tidak semakin kuat.
Ia juga menyebut dalam UU sebelumnya mengatur KPI dapat memberikan izin untuk lembaga penyiaran terestrial, sedangkan dalam RUU tersebut menjelaskan bahwa KPI hanya memberikan rekomendasi saja.
Selain itu, ia mengatakan bahwa KPI tidak dapat memberikan sanksi kepada lembaga penyiaran yang melanggar P3SPS.
“Kalau sekarang jelas disebut bahwa sanksi itu hanya diberikan oleh pemerintah saja,” ujarnya.
Menurut dia, seharusnya RUU Penyiaran membuat KPI menjadi lembaga atau regulator penyiaran yang semakin kuat ke depannya. Ia menjelaskan bahwa menguatkan KPI lebih mendesak dibandingkan dengan memperluas cakupan pengawasan dari penyiaran terestrial menjadi meliputi penyiaran internet.
“Padahal, seharusnya kan KPI itu justru harus didorong menjadi regulator yang lebih kuat. Jadi, mengurusi bukan cuma konten, kalau kita lihat dalam RUU ini kan KPI hanya sebatas konten, sedangkan sanksi, perizinan itu dipegang oleh pemerintah,” ujarnya. (ant)