Wartawan Istana Cerita Asam-Manis Ikuti Kegiatan Presiden di Era Soeharto-Jokowi, Lebih Enak Mana?
- VIVA.co.id/Natania Longdong
Tangerang – Presiden Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan kalimat pengantarnya dalam buku "Wartawan Istana Menulis Kisah di Balik Liputan Istana Era Soeharto Sampai Jokowi".
Jokowi mengatakan bahwa Istana Negara adalah panggung kebijakan dan pusat kekuasaan, tempat di mana keputusan-keputusan penentu sejarah bangsa diukir.
Namun, di balik kemegahan dindingnya sebuah Istana Kepresidenan, terdapat kisah dan cerita yang belum banyak dibagikan. Cerita dan pengalaman asam manis menjadi wartawan Istana Negara, mengawal aktivitas Kepala Negara baik di dalam maupun di luar negeri.
Pada acara Bedah Buku, yang diadakan oleh para eks wartawan Istana, Irsyad Hadi, selaku narasumber dan mantan jurnalis yang menjadi bagian dari wartawan Istana saat itu, membagikan pengalaman menariknya mengawal aktivitas kepala negara.
Irsyad, yang menjadi jurnalis pada 2001-2006, adalah seseorang yang bekerja di Radio Smart FM Network. Saat itu, dia mengaku bahwa dirinya sempat mengikuti tiga aktivitas kepala negara.
"Saya ikut mengawal era Gus Dur, Megawati, dan SBY," kata Irsyad pada rekan wartawan, di Tangerang, Sabtu, 18 Mei 2024.
Irsyad yang berada di tiga era kepemimpinan presiden yang berbeda, menjabarkan bahwa mekanisme peliputan yang dia kerjakan sungguh sangat berbeda di tiap presiden.Â
Yang menarik bagi Irsyad, adalah saat era Gus Dur. "Yang paling menarik itu era Gusdur. Menurut saya di era itu setiap hari menarik dan mengejutkan," ucap Irsyad, yang saat ini bekerja di kantor konsultan Imajin PR & Research.
Bahkan, dia masih ingat bahwa Presiden yang satu-satunya dapat dipanggil layaknya teman hanya Gus Dur. "Presiden yang bisa dipanggil kayak temen ya Gus Dur. Kita cukup panggil "Gus, Gus boleh tanya gak?" Dia cuma jawab "iya boleh"."
Bahkan, pada era Gusdur, Istana sangat terbuka bagi umum. Di era itu, kata para wartawan Istana menungkapkan bahwa tukang somay boleh berjualan di trotoar Istana.
"Bayangin di era Gusdur, tukang somay boleh berjualan di trotoar Istana. Mushola di sana dibuka untuk umum juga sampai era SBY," kata Elly Rosita Kadarusalam, yang juga merupakan wartawan Istana saat itu.
Para wartawan kompak, di era Gus Dur adalah masa-masa kejayaan pers. Bahkan masa keemasan pers. Idealnya Istana ya di zaman Gus Dur, humanis, rendah hati, dan mencerminkan masyarakat Indonesia, menurut salah satu wartawan dalam buku tersebut.
"Di era Gus Dur itu kita sebagai wartawan bisa mengembangkan profesionalisme kita, dibandingkan dengan presiden-presiden lainnya, tanpa takut ditegur. Disitu bisa kita bilang, itu adalah era emas jurnalisme," tutup Elly.