Sosok Jenderal Pembangkang pada Masa Orba Soeharto, Kini Raih Pangkat Bintang 5

VIVA Militer: Jenderal Besar TNI A. H. Nasution dan Jenderal Besar TNI Soeharto
Sumber :
  • Twitter/@ustadtengkuzul

Jakarta – Di tengah hiruk pikuk orde baru, ada sosok perwira tinggi yang berani bersuara lantang menantang kebijakan rezim, Dialah Abdul Haris Nasution, jenderal yang tak segan melontarkan kritik pada pemerintahan Soeharto.

Hamas Tegaskan Tidak Cari Bantuan Militer tapi Dukungan Politik dari Rusia

Julukan Jenderal Pembangkang melekat padanya, menjadi penanda sikap tegas dan prinsip hidupnya yang lurus.

Nasution bukanlah jenderal kemarin sore, ia adalah sosok peletak dasar strategi perang gerilya yang efektif menghancurkan penjajahan Belanda.

Innalillahi, Perwira Terbaik Korps Marinir Kapten Imran Meninggal Dunia di Medan

VIVA Militer: Jenderal Abdul Haris Nasution

Photo :

Kecemerlangannya di medan tempur, terpatri dalam sejarah perjuangan bangsa. Karir militernya terus menanjak, hingga ia menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) pertama Republik indonesia.

Peristiwa Sedih di Markas Marinir saat 12 Prajurit Pamit Tinggalkan TNI

Namun, takdir membawanya ke pusaran politik yang keram, Gerakan 30 September mewarnai malam kelam 1965, di mana para petinggi militer menjadi target utama. Nasution, yang kala itu menjabat sebagai Menteri pertahanan dan Keamanan, lolos dari penculikan dengan luka tembak. Peristiwa ini semakin menegaskan posisinya yang berseberangan dengan PKI.

Pasca peristiwa G30S, hubungan Nasution dengan Soeharto, yang kala itu menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), terjalin erat.

Keduanya bahu membahu menumpas pemberontakan PKI. Namun, seiring berjalannya waktu, perbedaan pandangan mulai mengemuka. Nasution kritis terhadap kebijakan ekonomi dan politik orde baru yang dinilai semakin otoriter. Ia bersuara lantang menentang pemusatan kekuasaan dan praktik korupsi yang merajalela.

VIVA Militer: Foto Keluarga Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution

Photo :
  • Youtube

Mendiang juga tak segan menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap konsep Dwifungsi ABRI yang memberikan peran ganda bagi militer, di ranah sipil. Menurut Nasution, hal ini bisa menggerogoti demokrasi dan profesionalisme tentara. Kritiknya yang vokal tak pelak menimbulkan ketegangan dengan Soeharto.

Nasution disingkirkan dari lingkaran kekuasaan, ia memilih pensiun dini dari dunia militer. Namun, ia terus berjuang melalui jalur intelektual. Ia menulis buku dan artikel yang mengkritik kebijakan pemerintah, menyuarakan pentingnya demokrasi dan supremasi hukum.

Meski tak lagi berseragam militer, Nasution tidak pernah kehilangan hormat. Ia tetap di pandang sebagai tokoh senior yang berpengaruh. Pengabdiannya kepada bangsa tak pernah lekang meski tak lagi berada di pucuk pimpinan.

Pada tahun 1997, Pemerintah menganugerahkan kenaikan pangkat militer secara anumetra kepada Nasution menjadi Jenderal Besar 'Bintang 5' TNI (Purn). Penganugerahan ini menjadi pengakuan resmi atas jasa-jasanya yang tak terhitung, tak hanya di medan perang, tetapi juga dalam perjuangan menegakkan demokrasi.

Kisah Abdul Haris Nasution tak hanya dikenang sebagai "Jenderal Pembangkang". Ia adalah teladan pengabdian tanpa pamrih.

Ia membuktikan bahwa perjuangan untuk bangsa bisa dilakukan di medan perang, ruang diskusi, bahkan melalui pena seorang intelektual. Keberaniannya melawan arus menjadi inspirasi bagi generasi penerus untuk terus menyuarakan kebenaran dan keadilan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya