Kisah Mufid Bisa Naik Haji Sekeluarga Gara-gara Pentol
- VIVA.co.id/Nur Faishal (Surabaya)
Trenggalek – Banyak cerita mengandung hikmah setiap musim haji tiba. Begitu pula tahun ini. Salah satunya dari keluarga Mufid Asnawi (62 tahun), seorang penjual pentol di Dusun Brongkah, Desa Kedunglurah, Kecamatan Pogalan, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Berkat ketekunannya menjual pentol, tahun ini dia beserta istri, anak, dan menantunya bisa berangkat haji ke Tanah Suci.
Ditemui di rumahnya pada Jumat, 10 Mei 2024, Mufid bercerita tentang perjalanan hidupnya sejak baru menikah dengan Siti Ngaisah (59). Semua bermula ketika dia kebingungan mencari pekerjaan setelah menikah pada tahun 1990-an. Cari-cari pekerjaan tak jua dapat, ia kemudian tertarik menjual pentol setelah melihat tetangganya yang sehari-hari berjualan penganan bulat itu.
Keinginan Mufid ternyata dikabulkan Tuhan. Seolah menemukan jalan lapang, tetangganya yang berjualan pentol bersedia mengajari, termasuk cara memasarkan ke pasar. “Dulu [jualan pentol] naik sepeda pancal berjualan keliling tahun 1992. Mulai ke Lapangan Durenan, ke musala-musala, ada ke sekolah TK, SD, SMP, dan SMA,” katanya.
Dari pengalamannya itu, Mufid kemudian membuka usaha pentol sendiri. Dulu, kata Mufid, setiap hari ia menghabiskan 1,5 kilogram tepung kanji dan terigu. Modalnya Rp1.500. Jika habis, setiap hari ia membawa pulang duit Rp4.000. Hasil bersihnya Rp2.500.
Dagangan pentolnya terus berkembang. Sekarang, Mufid mengaku setiap hari menghabiskan 10 kilogram tepung dan daging ayam 2 kilogram. Modalnya Rp300 ribu dan bila habis bisa mengantongi duit Rp600 ribu sampai Rp700 ribu.
Jalan haji Mufid berawal ketika ia berkunjung ke saudaranya yang baru pulang haji. Di situ hatinya terpantik untuk berhaji. Tapi dia bingung karena tak punya banyak duit dan hidup sederhana. Sementara mata pencahariannya hanya berjualan pentol.
“Mulai tahun itu saya seperti orang gila, malam nangis. Ya Allah saya tidak punya apa-apa, bagaimana bisa naik haji," cerita Mufid.
Tak disangka, pada tahun 2012 Mufid dan anak serta menantunya bisa mendaftar haji. Dua bulan kemudian istrinya menyusul mendaftar. Istri Mufid, Ngaisah, terdorong ikut mendaftar ketika suami dan anak serta menantunya mendaftar haji.
Sebetulnya, duit yang terkumpul hanya cukup untuk pendaftaran saja. Sedangkan untuk pelunasan Mufid tak pernah pikir. Ia dan keluarganya menabung setiap bulan, menyisihkan dari hasil berjualan pentol. Setiap bulan ia menabung Rp500 ribu.
“Sehingga selama itu saat berjualan kalau belum habis (pentol) belum berhenti melayani pembeli,” kata Mufid.
Dalam berjualan, pelayanan terbaik kepada pelanggan bagi Mufid jadi yang utama. Termasuk kepada pelanggan yang nakal. Mufid bercerita, ada saja pelanggan nakal saat ia berjualan pentol. Misalnya mengambil pentol tapi tak membayar.
Namun, Mufid biarkan anak-anak yang tidak membayar dan berbaik sangka bisa jadi mereka tidak punya duit. Ia ikhlas. Tak dinyana, beberapa waktu lalu, istrinya didatangi dua orang dewasa yang mengaku akan membayar utang. Keduanya termasuk bocah-bocah dulu yang tidak membayar saat membeli pentol.
“Ada kalau 5 orang yang kesini, sudah dewasa. Katanya membayar utang pentol saat dahulu masih sekolah. Padahal saya sudah lupa," kenang Mufid.
Berkat ketekunannya, Mufid dan tiga anggota keluarganya kini bisa menikmati apa yang diimpikannya sejak lama, yakni berhaji. Mereka akan berangkat dari Tanah Air melalui Embarkasi Surabaya pada 6 Juni mendatang.