Soroti Kenaikan Uang Kuliah Makin Mahal, DPR: Lonjakan Terlalu Besar, Harusnya Bertahap
- DPR RI
Jakarta - Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di sejumlah perguruan tinggi tengah jadi sorotan publik lantaran menuai banyak protes. Dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ikut menyoroti persoalan tersebut.
Wakil Ketua Komisi X DPR Fraksi Demokrat Dede Yusuf mengkritik keras kebijakan kenaikan UKT yang terjadi di beberapa perguruan tinggi negeri (PTN).
Dia menyindir kenaikan signifikan 50-100 persen mestinya tak boleh terjadi secara mendadak. Kata Dede, kenaikan itu harusnya dilakukan bertahap.
Menurut dia, kenaikan secara bertahap itu seperti 10 persen setiap tahun yang masih dinilainya wajar.
"Namun, jika lonjakan terlalu besar, kita harus bertanya, inflasi apa yang menyebabkan harga pendidikan menjadi naik? Apakah mengikuti harga cabai atau harga telur?" kata Dede Yusuf di Jakarta dikutip pada Kamis, 9 Mei 2024.
Dede curiga persoalan ini karena dipicu dugaan pemotongan subsidi pemerintah kepada beberapa PTN. Namun, dugaan yang kemungkinan jadi pemicu tersebut mesti ditelusuri.
“Jangan-jangan pemerintah sudah tidak lagi mensubsidi beberapa perguruan tinggi negeri. Seberapa jauh ini kan akhirnya kaitannya kita juga perlu telusuri, komponen-komponen apa yang menyebabkan angka pembiayaan pendidikan menjadi tinggi," jelas politikus Demokrat itu.
Lebih lanjut, dia juga menyinggung implementasi dari status PTN Berbadan Hukum (PTNBH). Menurut dia, konsep PTNBH seharusnya bantu universitas cari pendanaan di luar dari student body. Lalu, di luar subsidi pemerintah yang ternyata belum berjalan dengan sempurna.
"Kalau hanya sekadar menaikkan jumlah mahasiswa dengan pembiayaan dari mahasiswa itu sendiri, namanya bukan intisari dari peningkatan perguruan tinggi berbadan hukum. Sudah aja menjadi swasta sekalian," jelas Dede.
Maka itu, dia menuturkan, Komisi X DPR RI juga sudah bentuk Panitia Kerja (Panja) untuk mengevaluasi pelaksanaan PTNBH.
Simalakama Status PTN BH
Pengamat pendidikan Doni Koesoema heran dengan realita yang berkembang saat ini. Dia mengkritik keras lantaran status PTN BH malah seperti membuat masyarakat kesulitan mengakses perguruan tinggi negeri.
"Justru mebuat pendidikan tinggi kita jadi mahal karena proses otonomi kampus tidak disertai dengan transisi bagaimana dukungan dari pemerintah," kata Doni saat dihubungi wartawan.
Dia menjelaskan, dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Dikti), PTN mesti harus berbadan hukum dengan harapan adanya otonomi untuk pengembangan kampus.
"Masalahnya, apakah dengan adanya PTN BH kampus memiliki otonomi? PTN BH yang seharusnya otonom bagi kampus untuk pengembangan radikal, melalui UU itu, praktiknya dilepas begitu saja," jelas Doni.
Menurut dia, saat ini dampak proses otonomi kampus seperti pengelolaan biaya kepegawaian, dosen, pemenuhan kelengkapan edukasi dibebankan kepada peserta perkuliahan. Begitu juga dengan persoalan yang sangat kompleks malah dibebankan kepada peserta perkuliahan.
"Ini regulasi tidak masuk akal, perhitungannya kan pemerintah menyusun proses transisi bertahap, masa menuju standar otonomi itu justru yang dibebankan kepada mahasiswa?" tutur Doni.
Kemudian, dia juga menyoroti kewajiban bagi PTN BH untuk menyetorkan dana ke pemerintah dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
"PNBP itu dilaporkan ke negara, masuk kas negara, terus dikucurkan lagi ke kampus-kampus. Kan ngucurnya bukan main susahnya. Kenapa sampai rektor PTN mikirin PNPB?" ujarnya.
Pun, dia juga mengingatkan agar perguruan tinggi swasta (PTS) tak usah buru-buru tergoda mengalihkan status badan hukumnya. Dia mengatakan demikian karena fenomena saat ini PTN BH justru lebih mahal dari PTS. Padahal, logikanya PTN mestinya lebih murah dari PTS.
"Niatnya kan ingin meratakan akses Pendidikan, PTN kan harusnya lebih murah. Namun mereka (PTS) harus berpikir emang mereka mau dikasih dana dari pemerintah kalau berubah jadi PTN BH?," lanjut Doni.
Dia menuturkan karena uang kuliah di PTN BH tinggi maka saat ini PTS harus berlomba-lomba bisa menurunkan uang kuliahnya agar laku. "Swasta harus murah, kalo mahal ga laku," ujar Doni.