Subak Jatiluwih Siap Mendunia, Tradisi Pembagian Air Sawah Berkeadilan di Bali

Subak atau sawah bertingkat di Jatiluwih, Tabanan, Bali
Sumber :
  • Bali Star

Tabanan – Pemandangan alam yang memukau menjadi salah satu daya tarik wisata di Pulau Dewata, selain kekayaan tradisi dan budayanya. Bahkan,  tak jarang pemandangan alam yang indah terbentuk berkat tradisi dan budaya yang dijaga sekian lama.

Kepala BMKG Peringatkan Masyarakat di Wilayah Perairan Waspada Cuaca Buruk saat Nataru

Salah satu yang menjadi perhatian dunia adalah pemandangan hamparan sawah bertingkat di dataran tinggi Bali. Seperti  lahan berundak-undak seluas sekitar 300 hektare di Jatiluwih, Kabupaten Tabanan. Hamparan sawah yang ditanami padi, menghiasi sepanjang jalan.

Sawah di sana dipertahankan sudah sejak ratusan tahun dan tumbuh subur berkat bantuan sistem pengairan yang adil bagi seluruh petani. Sistem pengairan dikelola bersama melalui organisasi mereka yang dikenal dengan ‘subak’.

Program Padat Karya Ini bikin Semua Senang

Subak Jatiluwih menjadi salah satu contoh sistem pengairan sawah yang khas di Pulau Dewata.  Sejak ratusan tahun mereka memanfaatkan parit sebagai tempat penampungan air yang akan terus mengalir ke sawah-sawah mereka.

Melihat Sawah Terasering di Jatiluwih Tabanan

Photo :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin
Presiden Prabowo Sumbang 20 Ribu Hektare Lahan Pribadinya Untuk Konservasi Gajah di Aceh

Pengelola Daya Tarik Wisata (DTW) Subak Jatiluwih, John K Purna, yang juga menekuni pertanian, menjelaskan bahwa para petani di wilayah tersebut sudah bergabung dalam kelompok secara turun-temurun.

Tidak diketahui sejak kapan masyarakat di Jatiluwih  menggunakan sistem irigasi subak, lantaran secara berkelanjutan keturunan mereka sudah bergabung dan mendapat aliran air dari parit yang berasal dari Hutan Batukaru.

Saat ini, kelompok petani dibagi dalam tujuh tempekan yang dipimpin oleh ketua adat yang disebut Pekaseh. Satu kelompok rata-rata terdiri 35 petani, sehingga seluruh petani berjumlah 254 orang.

Budaya pertanian ini terus dipertahankan lantaran bekerja dengan landasan keadilan. Hal ini tercermin dari pembagian air yang merata bagi seluruh anggota.

Masyarakat juga bertahan dengan sistem gotong royong. Mereka memelihara parit dan merawat subak agar selalu bersih dan mampu mengairi air ke sawah-sawah mereka.

"Leluhur kami dahulu tahu dimana sumber air. Jadi dari atas dibuat parit dibawa ke sawah. Jadi tergantung berapa besaran lahan yang mereka punya, sebanyak itu air yang diberikan Ini tradisi yang selalu kami pertahankan,” kata John saat menerima kunjungan Memparekraf Jumat, 4 Mei 2024 lalu.

 Di sejumlah titik kawasan Subak Jatiluwih terdapat tembuku atau tempat pembagian air. Dari tempat itu air akan masuk ke parit yang disemen, lalu mengalir satu per satu dari sawah paling atas ke hilir tanpa bantuan mesin apapun.

“Kalau sawah di luar Bali umumnya mengambil air sebisanya, ada air di bawah diangkat secara manual, sementara disini tidak boleh. Semua sumber air mengalir, tidak bisa tiba-tiba ambil air orang,” ucapnya.

Penduduk meyakini, warisan budaya yang diakui UNESCO ini terus eksis berkat implementasi Tri Hita Karana yang terus diamalkan. Mereka tidak hanya menjaga keseimbangan dengan manusia, namun juga dengan alam, dan dengan Tuhan.

Akhirnya, seluruh elemen bekerja merawat sawah di dataran dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut (Mdpl) itu.

Sementara itu, untuk enyambut kedatangan para delegasibdan kepala negara anggota World Water Forum Ke-10 yang akan mengunjungi DTW Subak Jatiluwih, pengelola mulai merancang kegiatan untuk delegasi yang nanti akan melihat sawah berundak-undak di sana.

Para delegasi, utamanya kepala negara dijadwalkan akan hadir pada Jumat, 24 Mei 2024. Panitia akan menyajikan teh beras merah khas Jatiluwih Tabanan lengkap dengan pentas Tari Metangi dan pertunjukan aktivitas pertanian sehari-hari.

"Sejumlah pemandu disiapkan untuk memaparkan budaya pertanian di sana, terutama bagaimana air diatur subak untuk kesejahteraan bersama," jelas John.

 Di sepanjang hamparan sawah terasering, terdapat lintasan joging yang selalu digunakan wisatawan untuk melihat subak lebih dekat. 

"Namun dalam kunjungan delegasi kali ini pengelola memperkirakan hanya sampai di pinggir jalan sebelum memasuki jalur trek," ucapnya.

Rata-rata dalam sehari kata Jhon, 1.000 wisatawan datang ke DTW untuk menyusuri sawah selama 1-2 jam. Sekitar 85 persen di antara mereka adalah wisatawan mancanegara, terutama Eropa.

Akan tetapi saat ini, wisatawan Subak Jatiluwih belakangan mulai didatangi wisatawan dari India, Vietnam, dan Thailand.

Dengan mengenalkan Subak Jatiluwih ke perwakilan negara-negara di dunia, selain dapat menunjukkan budaya bertani juga bisa berbagi pengetahuan soal pemerataan dalam pemanfaatan air.  

Saat ini DTW Jatiluwih juga menjadi nominasi Daerah Wisata Terbaik Dunia dari UN Tourism. "Diharapkan momen tersebut juga akan menjadi pemantik datangnya wisatawan ke Pulau Dewata lebih banyak lagi," kata John.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya