Tim Hukum Prabowo Sebut Amicus Curiae MK Bentuk Intervensi Peradilan

Sumber :
  • VIVA.co.id/Edwin Firdaus

Jakarta – Wakil Ketua Tim Hukum Prabowo-Gibran, Fahri Bachmid angkat bicara soal upaya berbagai pihak yang mengajukan diri sebagai amicus curiae, termasuk Megawati Soekarnoputri melalui Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto pada Selasa kemarin, 16 April 2024.

Terpopuler: Prabowo Naik Tank di Papua, Kans Jorge Martin Juara Dunia

Megawati telah mengajukan diri menjadi Sahabat Pengadilan atau Amicus Curiae Mahkamah Konstitusi (MK), dan menyampaikan pemikiran atau pendapatnya atas perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 yang sedang ditangani MK saat ini. 

Megawati Soekarnoputri di HUT PDI-P ke 51

Photo :
  • VIVA/M Ali Wafa
Tekad Prabowo Berantas Korupsi Diragukan, Jam Tangan Dirdik Jampidsus Jadi Sorotan

Menurut Fahri, fenomena beberapa pihak mencoba untuk mengajukan dirinya sebagai Amicus Curiae di penghujung sidang, saat Majelis Hakim MK telah melakukan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk membuat putusan MK, merupakan bentuk lain dari sikap intervensi sesungguhnya kepada lembaga peradilan MK, yang dibingkai dalam format hukum atau pranata Amicus Curiae.

Bahwa secara terminologi hukum serta praktik lembaga peradilan umum, sesungguhnya ini adalah Friends of The Court atau Sahabat Pengadilan, dari aspek fungsi sejatinya amicus curiae sebagai pihak atau elemen yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara yang sedang diperiksa dan memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan. 

AHY Bicara Terkait Pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan SBY

Namun, lanjut dia, keterlibatan pihak atau elemen yang berkepentingan dalam sebuah perkara tersebut hanya sebatas memberikan opini. 

“Dan praktik penggunaan pranata amicus curiae secara generik biasanya digunakan pada negara-negara yang menggunakan sistem hukum common law, dan tidak terlalu umum digunakan pada negara-negara dengan sistem hukum civil law system, termasuk Indonesia. Akan tetapi, pada hakikatnya praktik seperti ini tidak dilarang jika digunakan dalam sistem hukum nasional kita,” kata Fahri kepada wartawan Rabu, 17 April 2024.

Fahri menguraikan bahwa secara yuridis, konsep amicus curiae di Indonesia merupakan ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

“Dan, secara praksis hukum, sesungguhnya praktik amicus curiae lebih condong dipraktikkan pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung,” ujarnya. 

Lagi pula, sambung Fahri, pelembagaan amicus curiae secara samar-samar sesungguhnya dapat dilihat serta dipraktikkan dalam persidangan pengujian Undang-undang di MK. Berdasarkan ketentuan hukum acara MK, pihak ketiga yang berkepentingan bisa mendaftarkan diri dan memberikan pendapat dalam proses pengujian Undang-undang Judicial review. 

“Konsep ini sebenarnya sedikit identik dengan praktik amicus curiae yang dianut oleh negara-negara dengan sistem hukum common law system. Dan secara hukum, sesungguhnya berdasarkan UU Nomor 24 tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 7 tahun 2020 tentang MK, serta Peraturan MK Nomor 4 tahun 2023 tentang tata beracara dalam penyelesaian sengketa Pilpres, sama sekali tidak dikenal adanya pranata hukum amicus curiae ini,” kata dia.

Sebab, pada dasarnya, kata Fahri, hakim MK dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara-perkara konstitusi, termasuk memutus sengketa PHPU Pilpres, sandarannya adalah konstitusi serta fakta-fakta hukum yang secara terang benderang telah terungkap di dalam persidangan yang digelar secara terbuka untuk umum. 

Terlebih, lanjut Fahri, MK tidak memutus suatu perkara konstitusi berdasar opini atau pendapat yang dikemas dalam bingkai amicus curiae, yang dipandangnya pihak-pihak yang mengajukan diri sebagai Friends of The Court itu mempunyai conflict of interest secara subjektif terhadap perkara itu sendiri.

“Pihak-pihak ini tentunya mempunyai intention agar memenangkan perkara in case yang sifatnya konkret dengan mencoba mengunakan sarana hukum tersamar amicus curiae, atau bentuk lain dari intervensi yang sesungguhnya kepada lembaga peradilan MK,” ujarnya.

Karena itu, Fahri mengatakan bahwa saat ini adalah fase yang sangat krusial, dimana para hakim MK sedang melaksanakan RPH, sehingga biarlah para hakim memutus perkara a quo secara objektif, dengan mengedepankan prinsip imparsialitas not supporting any of the sides involved in an argument.

“Sebab, pada prinsipnya hakim telah diperkaya dengan fakta dan alat bukti yang secara terang benderang telah terungkap dalam persidangan. Kami harapkan MK sejauh mungkin menghindarkan diri dari fenomena kontemporer amicus curiae ini,” imbuhnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya