Sidang Sengketa Pilpres 2024, Ahli Ganjar-Mahfud Ungkit Joget Gemoy di MK
- vstory
Jakarta - Kubu Ganjar Pranowo-Mahfud MD menghadirkan ahli psikologi sosial, Risa Permana Deli dalam sidang perselisihan hasil pemilu (PHPUK) atau sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK). Ia menyinggung soal perubahan psikologi Prabowo Subianto sebelum dan sesudah bergabung dengan Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Mulanya, Risa membahas soal sejarah Prabowo yang sangat agresif saat menjadi kandidat Presiden sejak 2014 silam.
"Kehadiran Prabowo dalam panggung politik dan kita semua tahu apa sejarah tersebut. Dalam dua kali pemilihan sebelumnya, Prabowo menunjukkan naluri berkuasa yang sangat agresif. Naluri tersebut, tiba-tiba hilang ketika beliau kalau di 2019 dan masuk ke Tim Pemerintahannya Presiden Jokowi. Selama 5 tahun agresifitas itu seperti di jinakan dan apa yang kita lihat kemudian, pak Prabowo kehilangan agresifitas kekuasaan yang kita kenal sebelumnya,” kata Ris di Ruang Sidang MK pada Selasa, 2 April 2024.
Risa menjelaskan, bahwa belakangan ini Prabowo berasosiasi ketokohan seperti Jokowi. Salah satu hal itu terlihat saat dirinya ikut blusukan hingga berjoget saat kampanye.
"Tiba-tiba sejarah berevolusi, kemudian yang kalem ini diikuti juga dengan proses pemilu yang kita lihat Pak Prabowo berjoget- berjoget. Bahkan, ketika beliau diserang dalam debat calon Presiden pun, beliau tidak merespon secara agresif," ucap Risa.
Sehingga, kata dia, masyarakat mengasosiasikan bukan hanya dengan Jokowi dan bansos, tetapi juga dengan sesuatu yang nyaman, yang tidak akan mengganggu. “Sebagaimana di periode pemilu sebelumnya, dimana Prabowo dianggap akan mengancam dan menimbulkan ketakutan," lanjutnya.
Maka itu, Risa menilai Prabowo yang senang berjoget itu menggambarkan bahwa masyarakat tak perlu pemimpin yang cerdas dalam berpolitik.
"Justru karena beliau menang dalam keadaan seperti ini dan cukup dengan berjoget serta mengatakan, ‘Mas Anies, Mas Anies', kita melihat bahwa sebenarnya rakyat yang cerdas itu, kecerdasannya bukan diisi pengetahuan politik, tapi pengetahuan cultural bahwa pemimpin enggak perlu pemimpin yang pintar. Pokoknya yang cool," tuturnya.