Dugaan Kasus Korupsi Timah, Pakar Dorong Kejagung Kejar Pengembalian Kerugian Negara
- ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) didorong untuk mengejar pengembalian kerugian negara yang ditaksir sebesar Rp271 triliun akibat kasus dugaan korupsi tata kelola timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022.
Menurut pakar hukum pidana, Hery Firmansyah Kejagung bisa melakukan demikian tergantung argumentasi dan fakta hukum yang kuat.
"Tergantung argumentasi dan fakta hukum yang ada. Jika memang ada relevansinya, terbuka peluang ke arah sana. Intinya bukan dipaksakan atau diada-adakan," kata Hery Firmansyah, di Jakarta dikutip pada Sabtu, 30 Maret 2024.
Hery mendorong Kejagung mengupayakan pengembalian kerugian negara secara maksimal. Dia menekankan hal itu bisa melalui aset para tersangka yang diduga terkait dalam kasus dugaan korupsi tersebut
"Terutama tracing asset tersangka yang tentunya berkaitan dengan tindak pidana atau hasil dari kejahatan tindak pidana, yang kemudian dapat dilakukan penyitaan ke depannya," jelasnya.
Namun, ia menyarankan Kejagung tetap melibatkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit atas kerugian negara dalam kasus tersebut. Hery mengatakan demikian karena BPKP dan BPK punya kewenangan untuk menghitung kerugian negara. "Selama ini praktik dasar kalkulasi kerugian negara diperoleh dari BPK atau BPKP," katanya.
Adapun kerugian negara Rp271 triliun terdiri dari kerugian ekologis, ekonomi lingkungan, dan biaya pemulihan lingkungan (reklamasi). Hal itu berdasar hasil penghitungan Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Bambang Hero Saharjo.
Penghitungan itu berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 7 Tahun 2014 serta disesuaikan temuan di lapangan dan hasil citra satelit.
Hery juga mendukung upaya Kejagung yang akan melibatkan pakar dalam mendalami kasus dugaan korupsi tata kelola timah. Bagi dia, hal itu masih relevan dalam perkara kasus.
"(Keterlibatan pakar) untuk memperkuat argumentasi hukum. Sekiranya baik, dapat digunakan sepanjang relevan dengan perkara," ujarnya.