Indeks Keselamatan Jurnalis 2023 Ungkap Keamanan saat Peliputan Belum Terjamin Penuh

Aksi menentang kekerasan terhadap jurnalis. (Foto ilustrasi).
Sumber :
  • ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

Jakarta – Yayasan Tifa sebagai bagian dari Konsorsium Jurnalisme Aman bersama PPMN dan HRWG berkolaborasi dengan Populix dan didukung oleh Kedutaan Belanda merilis Indeks Keselamatan Jurnalis 2023. Hasilnya, keselamatan jurnalis Indonesia dalam melakukan kerjanya masih belum sepenuhnya terjamin.

Butuh Kemauan Politik untuk Ungkap Tuntas Kasus Munir

Indeks Keselamatan Jurnalis 2023 berada pada skor 59,8 dari 100 atau masuk dalam kategori ‘Agak Terlindungi.’ Skor ini di antaranya disumbang oleh angka kekerasan yang dialami jurnalis baik yang dihimpun melalui survei maupun dari kasus yang ditangani oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sepanjang 2023.

Dari survei yang dilakukan terhadap 536 responden, sebanyak 45% responden mengaku pernah mengalami kekerasan. Sedang data AJI menunjukkan angka kekerasan terhadap jurnalis mencapai 87 kasus atau naik 16 kasus dari tahun sebelumnya. 

Nikita Mirzani Bongkar Perselingkuhan dan Kekerasan dari Mantan Kekasih

Direktur Eksekutif Yayasan TIFA Oslan Purba mengatakan, indeks ini bertujuan untuk memetakan permasalahan yang dihadapi oleh jurnalis. Kemudian, memberikan data yang relevan untuk mencegah kekerasan, serta meningkatkan kondisi kerja dan profesionalisme jurnalistik di Indonesia.

ilustrasi jurnalis

Photo :
Bursa Asia Jatuh Terseret Laporan Ekonomi Jepang Tak Sesuai Ekspektasi Pasar

“Pengukuran ini diupayakan agar bisa secara regular dan diharapkan bisa menjadi salah satu alat monitoring serta menemukan faktor-faktor masalah keselamatan jurnalis, sehingga menjadi bahan advokasi untuk mewujudkan jurnalisme aman di Indonesia,” jelas Oslan dalam acara peluncuran Indeks Keselamatan Jurnalis 2023, di Jakarta, dikutip dari keterangannya, Jumat, 29 Maret 2024.

Dijabarkan, bentuk kekerasan paling banyak berupa pelarangan liputan (45%), pelarangan pemberitaan (44%) dan teror dan intimidasi (39%).  Survei juga mencatat, satu orang jurnalis dapat mengalami beragam bentuk kekerasan dan jurnalis perempuan lebih rentan.

Ancaman terhadap keselamatan jurnalis ini datang dari berbagai pihak. Saat ditanyakan mengenai potensi ancaman keselamatan, jurnalis menyebut mulai dari Ormas (29%), negara melalui polisi (26%) dan pejabat pemerintah (22%), aktor politik (14%)  hingga perusahan media itu sendiri (7%). Sisanya, 4%, menyebut aktor lainnya.

Indeks Keselamatan Jurnalis 2023 diukur melalui metode survei kepada jurnalis dan dipadukan dengan data aktual kasus kekerasan terhadap jurnalis yang ditangani AJI. Gambaran kondisi keselamatan jurnalis dalam menjalankan profesinya ini disusun berdasarkan tiga pilar utama yang mencakup individu jurnalis, pilar stakeholder media, dan pilar negara dan regulasi.  

Pilar individu jurnalis dibangun dari dua variabel yakni pengalaman kekerasan yang dialami jurnalis dan pengetahuan jurnalis akan perlindungan dari kekerasan. Sedang pilar stakeholder media, menggali pengalaman dan pandangan jurnalis terhadap peran perusahaan media, organisasi masyarakat sipil seperti organisasi jurnalis dan lembaga bantuan hukum serta peran lembaga negara seperti Dewan Pers dan Komnas HAM.

Sedang Pilar negara dan regulasi didapat dengan menggali pengalaman dan persepsi jurnalis terhadap peran negara dan penegak hukum serta regulasi.

Aksi Menentang Kekerasan Terhadap Jurnalis/Ilustrasi.

Photo :
  • ANTARA FOTO/Siswowidodo

Manajer Riset Populix, Nazmi Haddyat Tamara mengatakan, di antara ketiga pilar ini, pilar individu mendapat skor terendah (36,08) diikuti pilar negara dan regulasi (64,36) dan pilar stakeholder media (74,36).

“Pilar individu mendapat skor rendah, didorong oleh kasus kekerasan yang masih tinggi, termasuk mengenai adanya penyensoran. Di sisi lain, umumnya jurnalis mengakui bila pekerjaannya berisiko,” jelas Nazmi.

Sementar itu, Direktur LBH Pers Ade Wahyudin mengungkapkan, ada tiga tantangan besar yang dihadapi jurnalis ketika mengalami tindakan kekerasan. Salah satunya adalah keengganan untuk melaporkan tindakan kekerasan itu kepada pihak berwajib.

“Alasan keengganan melaporkan tindak kekerasan ini karena melihat kasus sebelumnya yang sudah dilaporkan dan tidak ada kemajuan di kepolisian. Tantangan kedua adalah aparat penegak hukum yang lambat dalam menuntaskan kasus kekerasan yang dialami jurnalis,” ungkapnya.

“Tantangan ketiga adalah perusahaan medianya yang kadang di tengah jalan menarik laporan tersebut dari pihak berwajib dengan berbagai alasan,” jelas Ade.

Koordinator Sub Komisi Penegakan HAM Komnas HAM Uli Parulian Sihombing mengungkapkan, ada kesenjangan pengetahuan dari sejumlah stakeholder terkait hak kebebasan berpendapat dan berekspresi. Ini yang membuat banyak kasus kekerasan dan juga pencemaran nama baik yang dialami jurnalis.

“Sejak 2018-2024, ada tujuh kasus kekerasan yang dilaporkan ke Komnas HAM. Lima kasus kekerasan verbal dan dua kasus penyiksaan. Untuk kasus pencemaran nama baik dan pelanggaran UU ITE ada lima kasus. Komnas HAM sudah membuat panduan bahwa jurnalis adalah bagian dari pembela HAM dan ini sudah disampaikan kepada stakeholder,” jelas Uli.

Komnas HAM juga selalu berkoordinasi dengan Dewan Pers apabila menerima laporan terkait pencemaran nama baik yang dilakukan oleh jurnalis.

Direktur Pengelolaan Media Kementeriam Komunikasi dan Informatika Nursodik Gunarjo mengatakan, indeks ini akan menjadi early warning system ketika keselamatan jurnalis turun bisa dipantau oleh banyak orang.

Indeks Keselamatan Jurnalis 2023.

Photo :
  • Istimewa.

“Tapi yang penting setelah adanya indeks ini adalah apa yang harus dilakukan selanjutnya agar keselamatan jurnalis bisa tetap dijaga. Kami sebenarnya ingin tidak ada lagi kekerasan terhadap jurnalis. Mungkin salah satu yang bisa dilakukan adalah regulasi, tapi regulasi itu seperti mata uang, ketika kebebasan pers guaranteed by the law maka di saat yang sama ada juga yang merasa limited by the law,” jelas Nursodik.

Kata Nursodik, pemerintah tidak akan mengatur pers karena sudah ada UU terkait kebebasan pers. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah kalangan pers mengajukan kepada pemerintah untuk membuat UU yang bisa mengatur keselamatan jurnalis seperti UU Publisher RIght yang baru saja disahkan pemerintah.

Sebagai informasi, pngumpulan data melalui survei untuk Indeks Keselamatan Jurnalis dilakukan pada 22 Januari - 13 Februari 2024 dengan metode self filling oleh para jurnalis dengan cara mengirimkan kuesioner kepada jurnalis yang terdata di sejumlah organisasi. Serta, mendatangi jurnalis saat berada di lapangan serta wawancara kepada sejumlah jurnalis untuk verifikasi informasi yang krusial.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya