Irjen Herimen Temukan Jurus Mengatasi Akar Masalah Besar di Papua
- VIVA.co.id/Foe Peace Simbolon
Jakarta – Perwira Tinggi (pati) Polri, Inspektur Jenderal Polisi Herry Heryawan mengatakan persoalan di Papua sangat kompleks yang disebabkan oleh lima akar masalah besar.
Hal itu diuraikannya dalam sidang terbuka promosi doktor di Gedung Tri Brata, STIK Lemdiklat Polri, Jakarta, pada Senin, 4 Maret 2024y. Disertasinya berjudul, 'Upaya Pemolisian dalam Menghadapi Kompleksitas Persoalan di Papua: Penguatan Pelibatan Sosial dalam Pemerintahan, Pembangunan, dan Perdamaian'. Adapun pria yang akrab disapa Herimen itu resmi meraih gelar Doktor hari ini.
Kata dia, kelima akar masalah besar itu antara lain permasalahan hak asasi manusia, tantangan kesejahteraan yang belum terselesaikan, diskriminasi dan marginalisasi, diskursus mengenai status politik dan etno-nasionalisme yang terus berkembang di dalam negeri maupun luar negeri, dan terakhir kehadiran aparatur di Papua yang masih terlalu besar.
Menurutnya, jika dikaitkan dengan tugas Polri, maka hal diatas persis sebagaimana yang ditegaskan oleh Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo agar Korps Bhayangkara mengawal pembangunan di Papua secara proporsional.
"Dengan mengedepankan dialog yang humanis kepada masyarakat, namun tegas terhadap kelompok yang mengganggu keamanan dan ketertiban," kata dia pada Senin, 4 Maret 2024.
Dalam disertasinya, pria yang menjabat sebagai Staf Khusus Mendagri RI Bidang Keamanan dan Hukum itu melakukan penelitian dengan pendekatan kualitatif sebagai metode penelitian. Dirinya berhasil menemukan permasalahan yang ada sekaligus memberikan masukan.
Masukan pertama, penekanan kesetaraan dalam penegakan hukum lewat berbagai aturan internal Polri seperti Perkap, maklumat, maupun Perkaba, diakui sudah mengubah perilaku anggota kepolisian jadi lebih humanistik dan dialogis. Kemudian restorative justice memungkinkan masyarakat OAP (Orang Asli Papua) untuk mendapatkan keadilan yang lebih komprehensif, dengan berbasis pada kepekaan antropologisnya.
"Ini memberikan ruang yang lebih luas untuk mengurai salah satu akar masalah di Papua, yakni diskriminasi dan marginalitas," kata dia.
Eks Dirsidik Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri ini melanjutkan, temuan lain yang juga penting adalah berubahnya wajah pelayanan publik di Papua lewat strategi Binmas Noken dan pelayanan kepolisian sehari-hari (daily service).
Dalam paparannya, Herimen menjelaskan Binmas Noken dan daily service berbasis kesetaraan dan akuntabilitas, memberi dampak langsung pada penghentian diskriminasi oleh kepolisian kepada OAP, serta menghilangkan perbedaan kualitas layanan antara OAP dan non-OAP.
"Dua dimensi di tersebut, secara tidak langsung juga meningkatkan sensibilitas dan pemahaman anggota kepolisian terhadap Hak Asasi Manusia," katanya.
Masih dari disertasinya, dirinya punya beberapa rekomendasi untuk Polri, salah satunya adalah perlunya memperluas diskursus Pemolisian Demokratis, yang menjangkau isu-isu seperti peran Polri dalam soal perubahan iklim, kebencanaan, serta pengembangan kebudayaan tradisional.
"Hal tersebut menjadi penting mengingat Pemolisian Demokratis dapat menjadi kerangka kerja yang terbuka bagi berbagai masalah sosial di Papua," ujar dia.
Sementara Kabaharkam Polri, Komisaris Jenderal Polisi Fadil Imran yang jadi salah satu penguji dalam nasihat akademiknya berpesan kepada Herimen untuk selalu memajukan disiplin ilmu yang jadi titik pijak dalam meraih gelar doktornya, dan mengerjakan beban akademis untuk selalu melakukan pengabdian untuk masyarakat luas.
Menurut Fadil, polisi tidak cukup cuma dengan memiliki kemampuan teknis dan leadership. Katanya, seorang pemimpin Polri yang paripurna harus punya background akademis serta knowledge yang memadai, selain kemampuan dan kematangan religius.
"Saya selalu bilang kalau mau menjadi pimpinan Polri yang memiliki daya saing dia harus memiliki minimal lima, yakni memiliki kemampuan teknis, leadership, kematangan religius, kemudian knowledge komunikasi yang baik, dan jaringan sosial yang kuat," kata Fadil.