Pengamat Sebut Hak Angket Bisa Mandek Jika Langkah Ini Tidak Dilakukan

Pengamat politik Ray Rangkuti di Jakarta, Minggu 23 Juni 2019.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Reza Fajri

Jakarta – Penyelesaian sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai hanya mengadili dugaan kecurangan pada proses perhitungan suara. Tidak memeriksa pelanggaran penyelenggaraan pemilu secara terstruktur, sistematis, dan masif.

Soal Dukungan Jokowi ke Luthfi-Taj Yasin di Pilkada Jateng, Begini Analisa Pengamat

Pengamat politik yang juga Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti mendorong adanya hak angket untuk menyelidiki dugaan pelanggaran pemilu, khususnya Pilpres 2024. Hak angket ini merupakan hak konstitusional yang dapat diajukan sejumlah partai politik (parpol) melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

"Penyelidikan dugaan pelanggaran pemilu dapat diselesaikan melalui jalur politik lewat Hak Angket DPR," ujar Ray dikutip Rabu, 28 Februari 2024.

Megawati Bakal Nyoblos Pilkada 2024 Bareng Keluarga di Kebagusan Jaksel

Ilustrasi Rapat Paripurna di DPR.

Photo :
  • VIVA/M Ali Wafa

Ray mengingatkan bahwa hak angket ini bukan dalam konteks mengubah hasil pemilu yang merupakan wilayah Komisi Pemilihan Umum (KPU). 

Pengamat Apresiasi Prabowo, 2 Pekan di Luar Negeri Mampu Bawa Investasi USD 18,5 Miliar

"Hak angket itu bukan apa hasilnya, tapi bagaimana pelaksanaannya dan ditujukan kepada presiden. Enggak mungkin DPR meng-angket Komisi Pemilihan Umum atau Bawaslu. Keduanya lembaga independen, bukan eksekutif," jelas dia.

Menurut Ray, penyelidikan pelaksanaan pemilu bukan pada angka-angka hasil pemilu, tetapi mempertanyakan dugaan keterlibatan Presiden Jokowi terkait dukungan kepada paslon tertentu. 

"Misalnya bisa dipertanyakan soal kelemahan pemilu sekarang, dan apakah bansos yang dibagi-bagikan Presiden Jokowi berhubungan dengan kenaikan elektabilitas salah satu paslon," jelasnya.

Alumnus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu menambahkan, secara administratif PDIP, NasDem, dan PKB itu masih bagian koalisi pemerintah. "Tapi itu koalisi administratif, tapi secara faktual tidak, makanya mereka dorong hak angket," tegas dia. 

Menurut Ray, PDIP, NasDem, dan PKB sudah merasa bukan bagian pemerintah. Lantas bagaimana dengan nasib para menteri parpol-parpol tersebut di kabinet Pemerintahan Jokowi? "Itu terserah Presiden Jokowi. Kalau mau presiden bisa me-reshuffle mereka. Kenapa bukan parpol yang menarik menterinya? Itu sama saja seperti Jokowi tidak kembalikan KTA ke PDIP padahal tak mendukung paslon dari PDIP, politik di Indonesia ya begitu," Ujarnya

Di mana-mana di dunia, lanjut Ray, pihak yang kalah yang menuntut keadilan, sehingga di Indonesia dibentuklah Bawaslu dan MK. "Lucunya yang membentuk pengadilan itu pihak yang menang, karena itulah perlunya didorong hak angket," tegasnya.

Presiden Jokowi dan Ketum Nasdem Surya Paloh

Photo :
  • ANTARA Foto

Adapun pertemuan Jokowi-Surya Paloh pada tanggal 18 Februari lalu dapat dinilai sebagai langkah untuk memadamkan ide Hak Angket di DPR. Sebab, jika Surya Paloh tidak mendukung, maka kekuatan pendukung hak angket dari parpol-parpol pendukung calon presiden (capres) 01 dan 03 akan kehilangan momentum. Ini beresiko membuat gerakan di DPR menjadi prematur. 

Ray menilai langkah tersebut perlu dicegah. Atas dasar itu, ia menyarankan segera diadakan pertemuan antara pimpinan parpol-parpol Koalisi 01 dan 03 untuk membicarakan Hak Angket Pemilu 2024. "Sebab, ide tersebut sudah mulai dibahas pimpinan Koalisi 01. Tampaknya PDIP masih melakukan konsolidasi paska pilpres, seraya menunggu pengumuman hasil final perhitungan suara oleh KPU," kata Ray

Oleh sebab itu, sambung Ray, pimpinan partai Koalisi 01 perlu untuk segera mengajak PDIP dan PPP dari Koalisi 02 untuk menggulirkan ide hak angket secara bersama, agar proses pelaksanaan pileg dan pilpres bersih dari pelanggaran konstitusi dan etika, dua hal yang merupakan agenda utama era reformasi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya