Pilihan Rakyat, Sengketa Pemilu dan Wacana Hak Angket

Dr. Sulaiman N. Sembiring Doktor, Hukum Tata Negara/Praktisi Hukum
Sumber :
  • Istimewa

VIVA – Pemungutan suara (Pemilu) 2024 telah usai, walaupun masih ada beberapa pemungutan suara lanjutan yang disebabkan antara lain karena bencana alam seperti banjir dan pelaksanaan pemungutan suara ulang atas rekomendasi Panwascam (Panitia Pengawas Pemilihan Kecamatan) yang dilakukan di sejumlah tempat karena dianggap ditemukan pelanggaran aturan dalam proses pelaksanaan pemilu.

KPU: Idealnya Kepala Daerah Dilantik Setelah 13 Maret 2025

Khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan jajarannya masih terus bekerja keras untuk sampai pada perhitungan akhir dan menetapkan serta mengumumkan siapa yang akan muncul sebagai Pasangan Presiden dan Wakil Presiden Pilihan Rakyat untuk masa jabatan 2024-2029, selain tentunya yang akan duduk di Senayan sebagai Anggota DPR dan DPD RI serta anggota legislatif yang akan duduk di DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota seluruh Indonesia sesuai kewenangan yang dimilikinya berdasarkan Pasal 13 Huruf (d) dan huruf (e) UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, yang intinya memuat kewenangan KPU untuk menetapkan dan mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan suara secara nasional serta menerbitkan Keputusan KPU untuk mengesahkan hasil Pemilu dan mengumumkannya ke publik. 

Ilustrasi pemilu

Photo :
  • Tokopedia
Pilpres 2024 Dinilai Mulai Geser Demokrasi RI Jadi Otokrasi Elektoral yang Mengkhawatirkan

Diantara penantian masyarakat mengenai siapa Capres-Cawapres terpilih yang akan ditetapkan sebagai pasangan Presiden-Wakil Presiden, berbagai media cetak dan elektronik tiba-tiba memberitakan bahwa Ganjar Pranowo, Capres No. Urut 03 mengusulkan agar DPR RI menggunakan hak angket untuk mempersoalkan pelaksanaan Pemilu 2024 karena dianggap memuat banyak kecurangan.

Pertanyaannya kemudian, apakah benar semata dikarenakan dugaan bahwa dalam Pemilu 2024 telah terjadi kecurangan yang sistematis sehingga perlu dijalankannya hak angket di DPR, ataukah lebih sebagai ekspresi ketidakpuasan karena rakyat tidak memilihnya untuk duduk di kursi Presiden yang akan datang? Apa sebenarnya yang dimaksud hak angket dan apakah hak angket tersebut merupakan instrumen hukum yang benar untuk mempersoalkan masalah proses dan hasil pemilu? Cukup banyak pakar hukum tata negara yang tidak setuju atas penggunaan hak angket tersebut seperti Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, Prof. Dr. Andi M. Asrun, Margarito Kamis dan bahkan Mahfud MD sekalipun mengatakan bahwa hak angket itu tidak ada gunanya bagi Paslon, dikarenakan itu lebih sebagai Langkah politik partai-partai yang ada di Parlemen.  

Sibuk Politik, 2024 Jadi Tahun yang Penuh Guncangan bagi Krisdayanti

Selain untuk ikut menjawab pertanyaan di atas, tulisan ini merupakan bentuk keprihatinan penulis atas sikap sejumlah elit politik dan bahkan yang menganggap dirinya ahli hukum yang secara diam-diam maupun terang-terangan bersikap dua muka dalam pelaksanaan pemilu Indonesia 2024: Di satu sisi, menyatakan mengerti dan siap untuk mengikuti kontestasi pemilihan presiden dengan berlandaskan dan tunduk pada seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku, siap menang dan siap kalah.

Di sisi lain, ketika tanda-tanda kekalahan itu muncul maka berbagai isu seperti hak angketpun dimunculkan, termasuk adanya release film yang diklaim pembuatnya sebagai documenter berjudul Dirty Vote (11/02/2024), yang apabila kita tonton secara utuh sangat tidak layak disebut sebagai documenter karena tidak menjelaskan fakta-fakta sebenarnya, dan hanya berupa potongan-potongan “puzzle” berupa gambar dengan narasi yang sangat tidak berhubungan dan kemudian menyimpulkan adanya skenario-skenario jahat dalam Pemilu 2024. (Sembiring, Detik.com, 13 Februari 2024).   

Pilihan Rakyat

Ilustrasi Pemilu 2024.

Photo :
  • VIVA

Versi hitungan cepat (Quick Count) semua Lembaga survey menempatkan Paslon 02 Prabowo-Gibran sebagai Capres/Cawapres terpilih dengan perolehan suara sekitar 57-58 % disusul oleh Anis-Muhaimin dengan perolehan suara 24-25 % dan Ganjar-Mahfud di angka 16 %. Sampai dengan tulisan ini dibuat, perolehan suara versi Quick Count tersebut ternyata lebih kurang sama dengan hitungan nyata (real count) KPU, Dimana Prabowo-Gibran memperoleh suara 58,83 %, Anis-Muhaimin memperoleh 24,37 % dan Ganjar-Mahfud di angka 16,18 %. Prediksi banyak pihakpun, Presiden dan Wakil Presiden Pilihan Rakyat untuk masa bakti 2024-2029 adalah Prabowo-Gibran (CNBC Indonesia, 25/02/2024). 

Gambaran perolehan suara di atas menjelaskan pilihan rakyat atas siapa yang mereka inginkan sebagai Capres-Cawapres atau Pemimpin mereka untuk masa bakti 2024-2029, yang mana seharusnya dihormati dan tidak diciderai dengan memunculkan wacana hak angket tersebut. Mungkin ada pihak-pihak yang menganggap bahwa masyarakat yang selama ini lebih banyak diam dapat diarahkan dan diprovokasi melalui berbagai manuver dan penyebarluasan isu-isu yang mengarah kepada penjatuhan kredibilitas berupa fitnah, pelecehan  dan bentuk-bentuk bullying lainnya serta agar tidak memilih Paslon Capres-Cawapres tertentu, yang terasa begitu memuncak menjelang hari-hari pemungutan suara.

Faktanya, cara-cara murahan dan tidak bermartabat tersebut gagal dan rakyat telah memilih pemimpin yang mereka inginkan  sebagaimana tergambar dari Quick Count Lembaga Survey dan Real Count KPU.   Namun demikian, terkait dengan hasil akhir siapa yang benar-benar dinyatakan sebagai pemenang Pemilihan Presiden dalam Pemilu 2024, tentu kita harus menghormati dan menunggu pengumuman resmi KPU selaku penyelenggara sah Pemilu. 

Sengketa Pemilu

Ilustrasi Pemilu.

Photo :
  • VIVA/Misrohatun Hasanah

Adalah keniscayaan atau suatu kepastian apabila dalam setiap kontestasi Pemilu di negara mana saja sebagaimana Pemilu di Indonesia akan menghasilkan adanya Pasangan Capres-Cawapres yang menang dan pasangan yang kalah. Persoalannya adalah sejauh mana pihak yang kalah dan partai politik mendukungnya bersedia berendah hati atau legowo untuk menerima kekalahan tersebut. Namun demikian apabila pihak yang kalah menganggap telah terjadi kecurangan atau pelanggaran dalam pemilu maka UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu dan UU No 7 Tahun 2023 Tentang Perubahannya, memberikan hak dan koridor bagi pihak-pihak yang ingin mempersoalkan kecurangan atau pelanggaran tersebut. 

Sengketa Pemilu tersebut diantaranya adalah berupa Pertama, Pelanggaran Administratif  yang dapat dilaporkan kepada Bawaslu secara berjenjang dari Tingkat Kabupaten/Kota, dan Bawaslu Provinsi dan Tingkat Nasional yang meliputi pelanggaran terhadap tata cara, prosedur atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan Pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu, termasuk apabila ada bukti-bukti pendukung mengenai terjadinya pelanggaran administratif yang bersifat terstruktur, sistematis dan massif.

Andaipun para pihak tidak puas dengan Putusan Bawaslu maka para pihak bisa mengajukan  upaya hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (Pasal 460-466). Atas putusan Bawaslu, KPU wajib untuk menindaklanjuti putusan tersebut termasuk memberikan sanksi diskualifikasi. Kedua, Sengketa mengenai Proses Pemilu yang juga dapat diajukan ke Bawaslu, meliputi sengketa yang terjadi antara peserta pemilu dan sengketa antara peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu akibat dikeluarkannya Keputusan KPU, Keputusan KPU Provinsi dan Keputusan KPU Kabupaten/Kota (Pasal 467-472).

Ketiga, sengketa Perselisihan Hasil Pemilu yang dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) RI, yang meliputi perselisihan antara KPU dan peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional, yang untuk Capres-Cawapres adalah yang meliputi perselisihan penetapan suara yang dapat mempengaruhi penetapan hasil Pemilu Presiden dan wakil presiden.

Dalam perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu Presiden dan wakil presiden, pasangan calon dapat mengajukan keberatan kepada MK paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilu Presiden dan wakil presiden oleh KPU, hanya untuk suara yang mempengaruhi penentuan terpilihnya pasangan calon (Pasal 473-475).  Sebagaimana ketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada Tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat yang diantaranya adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.  

Selain pelanggaran administratif dan sengketa pemilu tersebut, UU Pemilu juga mengatur mengenai Tindak Pidana Pemilu, Perbuatan atau tindakan yang diduga merupakan tindak pidana Pemilu yang dinyatakan oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/ Kota, dan/atau Panwaslu Kecamatan setelah berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia dalam Gakkumdu.

Cukup banyak ragam dan bentuk perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pemilu yang diantaranya adalah: “Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar Pemilih; Setiap anggota PPS atau PPLN yang dengan sengaja tidak mengumumkan dan/atau memperbaiki daftar pemilih sementara setelah mendapat masukan dari masyarakat dan/atau Peserta Pemilu, atau Setiap kepala desa atau sebutan lain yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu dalam masa Kampanye”. Ketentuan mengenai pidana Pemilu diatur dalam Pasal 476 sampai dengan Pasal 554. 

Uraian singkat di atas menjelaskan bahwa pada dasarnya UU Pemilu telah menyediakan sejumlah koridor atau mekanisme yang dapat digunakan para pihak yang merasa dicurangi atau melihat adanya pelanggaran dalam Pemilu. Khususnya untuk sengketa hasil pemilu yang dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi, patut dicatat bahwa putusannya akan bersifat final dan mengikat. 

Hak Angket

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan hak angket? Pengertian Hak angket terdapat di dalam Pasal 79 Ayat (3) UU N. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3),  yaitu hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan akan hak angket tersebut merupakan hak DPR yang diberikan oleh UUD 1945 khususnya dalam 20A UUD 1945 untuk menjalankan fungsinya selain hak interpelasi dan hak menyatakan pendapat sebagaimana diatur di dalam Pasal. 

Melihat kepada muatan Pasal 79 ayat (3) tersebut kiranya penggunaan hak angket sebagaimana dimaksud oleh Ganjar Pranowo, yakni untuk mempersoalkan adanya dugaan kecurangan adalah tidak tepat. 

Paling tidak terdapat tiga alasan yang dapat penulis kemukakan yaitu: Pertama berbagai hal yang berkaitan dengan dugaan pelanggaran administratif, dugaan kecurangan dalam proses penyelenggaraan pemilu maupun atas sengketa hasil sudah diatur termasuk mengenai mekanisme dan teknis penyelesaian sengketa dalam sebuah undang-undang yang bersifat khusus (Lex Specialis) yakni UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu dan UU No. 7 Tahun 2023 tentang Perubahannya. Sehingga apabila ada peserta pemilu yang ingin melakukan upaya hukum terkait sengketa hasil Pemilu harus dilakukan melalui Bawaslu, PTUN atau ke Mahkamah Konstitusi. 

Kedua Hak Angket di dalam UU MD3 memuat rumusan yang sangat umum dan sama sekali tidak ditujukan bagi suatu bidang tertentu seperti Pemilu. Sehingga akan menjadi sangat tidak jelas, kemana ujung dari pelaksanaan hak angket tersebut. Oleh karena itu secara hukum tidak akan memberikan dampak apapun pada hasil Pemilu 2024. 

Ketiga, pewacanaan Hak Angket oleh sejumlah elit politik, apabila ditindaklanjuti oleh sejumlah anggota DPR bisa jadi hanya akan menyebabkan anggota DPR dan Partai politik tersebut terjebak dalam situasi sulit, yakni menjadi tidak popular di mata Masyarakat. Sebab pada saat masyarakat sudah menjalankan kewajibannya untuk mengikuti Pemilu dan memilih Capres-Cawapres maupun Caleg Pilihannya, para elit dan partai politik tersebut masih bermain-main dengan wacana hak angket tersebut yang hanya akan menguras energi bangsa secara percuma.

Apalagi faktanya suara Ganjar-Mahfud jauh tertinggal dan berjarak sekitar 42 persen dari Paslon Prabowo-Gibran, kalau-kalau maksud Ganjar mengangkat wacana hak angket ditujukan untuk mendelegitimasi perolehan suara yang ada. Jauh lebih baik sebenarnya, bagi pihak-pihak yang mempersoalkan adanya dugaan kecurangan atau dugaan penggelembungan suara untuk mengumpulkan bukti-bukti yang kuat dan shahih untuk diserahkan ke Bawaslu atau PTUN maupun Mahkamah Konstitusi apabila hendak melakukan upaya hukum yang sungguh-sungguh, dengan mengingat adagium Actori In Cumbit Probatio, siapa yang mendalilkan, dialah yang membuktikan.  

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya